Dalam beberapa hari terakhir, muncul kontroversi mengenai ide memasukkan serangga ke dalam menu program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia. Kritik tajam datang dari aktivis media sosial dan dokter bernama Tifauzia Tyassuma, yang meragukan keputusan ini. Ide ini disampaikan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, yang menawarkan serangga sebagai sumber protein alternatif untuk anak-anak sekolah. Menurut Dr. Tifa, langkah ini mencerminkan situasi ekonomi yang mendesak dan mempertanyakan kelayakan penunjukan Dadan sebagai pemimpin BGN.
Kontroversi ini bermula ketika Dadan Hindayana, seorang ahli entomologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan bahwa serangga dapat menjadi pilihan sumber protein bagi daerah-daerah tertentu. Dalam wawancara awal bulan ini, Dadan menjelaskan bahwa serangga seperti belalang dan ulat sagu memiliki potensi sebagai pengganti lauk yang lebih mahal. Ia menekankan bahwa program MBG bertujuan untuk memberikan asupan gizi yang seimbang dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Dr. Tifa, melalui akun media sosialnya, mengungkapkan keprihatinan atas rencana tersebut. Ia mengecam gagasan memberikan serangga kepada anak-anak sekolah, menilai hal tersebut tidak sesuai dengan standar nutrisi yang layak. "Apakah negara kita sudah mencapai titik di mana anak-anak harus makan serangga?" tanyanya. Selain itu, Dr. Tifa juga mempertanyakan kualifikasi Dadan sebagai kepala BGN, mengingat latar belakangnya yang spesifik pada serangga.
Pendapat Dr. Tifa mendapatkan perhatian luas, seiring banyaknya orang yang setuju bahwa penunjukan seorang ahli serangga untuk posisi strategis seperti ini kurang tepat. Dia berpendapat bahwa ada banyak ahli gizi profesional yang lebih cocok untuk memimpin badan tersebut. Meskipun demikian, Dadan menegaskan bahwa BGN hanya menetapkan standar komposisi gizi dan bukan menu nasional, serta menekankan pentingnya adaptasi lokal dalam pemilihan sumber protein.
Perdebatan ini menyoroti tantangan dalam merumuskan solusi nutrisi yang efektif untuk seluruh populasi Indonesia. Sementara serangga bisa menjadi sumber protein yang ekonomis dan berkelanjutan di beberapa wilayah, pertanyaannya adalah apakah masyarakat secara luas siap menerima ide tersebut. Di tengah pro dan kontra, diskusi ini menggarisbawahi kebutuhan akan pendekatan yang lebih inklusif dan sensitif terhadap kebiasaan dan preferensi lokal dalam merancang program kesehatan publik.