Pasar
Sritex: Dari Kejayaan Hingga Keterpurukan, Sebuah Kisah Industri Tekstil Indonesia
2024-11-02
Sritex, perusahaan tekstil terkemuka di Indonesia, telah melalui perjalanan panjang yang penuh dengan pasang surut. Dari awal yang sederhana sebagai usaha kecil di Solo, Sritex berkembang menjadi raksasa industri kain yang menguasai pasar dalam dan luar negeri. Namun, kini Sritex harus menghadapi kenyataan pahit, terbelit utang hingga dinyatakan pailit oleh pengadilan. Kisah ini menjadi pembelajaran berharga bagi dunia usaha di Indonesia.
Menyingkap Tabir Kejayaan dan Keruntuhan Sritex
Awal Mula Sritex: Dari Pedagang Tekstil Menjadi Raksasa Industri
Sritex berawal dari usaha kecil yang dirintis oleh Haji Muhammad Lukminto pada tahun 1960-an. Bermula sebagai pedagang tekstil di Solo, Lukminto kemudian mendirikan pabrik cetak kain pertamanya pada tahun 1968. Dari sini, Sritex mulai berkembang pesat, memanfaatkan momentum pertumbuhan industri tekstil di Indonesia.Kedekatannya dengan pemerintah Orde Baru, khususnya Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko, menjadi kunci kesuksesan Sritex di masa itu. Perusahaan ini mendapatkan banyak proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah, memberikan keuntungan besar bagi Sritex.Menguasai Pasar Dalam dan Luar Negeri
Dengan dukungan pemerintah dan penguasaan pasar domestik, Sritex kemudian melebarkan sayapnya ke pasar internasional. Perusahaan ini menjadi salah satu pemain utama dalam industri garmen dan tekstil Indonesia, mengekspor produknya ke berbagai negara.Sritex dikenal sebagai produsen kain berkualitas tinggi, terutama untuk seragam. Selain itu, perusahaan ini juga memproduksi berbagai jenis kain lainnya, seperti kain batik, katun, dan lain-lain. Keunggulan produk dan reputasi Sritex di pasar global menjadikannya salah satu raksasa industri tekstil Indonesia.Terbelit Utang dan Dinyatakan Pailit
Namun, kejayaan Sritex tidak berlangsung selamanya. Perusahaan ini mulai terbelit utang yang semakin membengkak, mencapai hampir Rp 15 triliun. Utang-utang ini berasal dari 27 bank dan 3 perusahaan pembiayaan.Akibat gagal membayar kewajibannya, Sritex akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada tahun 2024. Putusan ini juga mencakup tiga anak usaha Sritex, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.Salah satu kreditur utama yang mengajukan permohonan pailit adalah PT Indo Bharat Rayon (IBR), perusahaan yang merupakan bagian dari konglomerasi Aditya Birla Group asal India. Sritex memiliki sisa utang sebesar Rp 101,31 miliar kepada IBR, yang hanya sekitar 0,38% dari total liabilitas perusahaan.Upaya Pemulihan dan Masa Depan Sritex
Meskipun dinyatakan pailit, Sritex tidak menyerah begitu saja. Perusahaan ini telah mengajukan kasasi terkait putusan pailit dari Pengadilan Niaga Semarang. Langkah ini menunjukkan upaya Sritex untuk mempertahankan keberadaannya dan mencari solusi atas permasalahan utang yang membelit.Ke depannya, nasib Sritex akan menjadi sorotan publik. Apakah perusahaan ini dapat bangkit kembali dari keterpurukan dan menemukan jalan keluar dari masalah utang yang menggerogotinya? Atau akankah Sritex harus menerima kenyataan bahwa kejayaannya telah berakhir?Kisah Sritex menjadi pembelajaran berharga bagi dunia usaha di Indonesia. Pentingnya manajemen keuangan yang sehat, diversifikasi risiko, dan menjaga hubungan baik dengan pemerintah menjadi kunci agar perusahaan dapat bertahan dalam menghadapi tantangan di masa depan.