Kue keranjang, atau yang dikenal sebagai nian gao, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi perayaan Tahun Baru Imlek. Terbuat dari tepung ketan, air, dan gula, kue ini memiliki tekstur lengket yang unik. Menurut cerita rakyat di Tiongkok, kue ini memiliki legenda menarik yang berkaitan dengan Dewa Dapur. Setiap akhir tahun, Dewa Dapur harus membuat laporan kepada Kaisar Giok tentang keadaan rumah. Untuk mencegahnya melaporkan hal-hal buruk, orang-orang menawarkan kue keranjang sebagai 'penutup mulut'. Tekstur lengket kue ini dipercaya dapat menghalangi Dewa Dapur untuk membuka mulutnya. Selain itu, nian gao juga melambangkan kemakmuran dan peningkatan diri dari tahun ke tahun. Kue ini sekarang menjadi simbol penting dalam memperkuat ikatan keluarga selama perayaan Tahun Baru Imlek.
Berawal dari zaman kuno, tepatnya 2000 tahun lalu, kue keranjang sudah ada dan menjadi bagian dari budaya Tionghoa. Sejak Kalender China didirikan pada Dinasti Zhou (abad ke-11 SM – 256 SM), orang Tionghoa mulai merayakan konsep "tahun" dan mempersembahkan nian gao kepada dewa dan leluhurnya. Pada Dinasti Tang (618 – 907 M), kue ini menjadi makanan tradisional yang dikonsumsi selama Festival Musim Semi. Kemudian, pada Dinasti Qing (1636 – 1912), nian gao berkembang menjadi makanan ringan yang populer sepanjang tahun, tetapi tetap menjadi hidangan istimewa saat festival. Di Jakarta, menjelang Tahun Baru Imlek, penjualan kue keranjang meningkat tajam karena diyakini dapat menyatukan keluarga dan mencegah mereka mengatakan hal-hal buruk saat makan bersama.
Dari perspektif seorang jurnalis, legenda dan simbolisme kue keranjang memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya harmoni dan kesinambungan dalam kehidupan. Kue ini tidak hanya merupakan makanan lezat, tetapi juga sarana untuk memperkuat hubungan antar anggota keluarga dan masyarakat. Melalui tradisi seperti ini, kita belajar bahwa setiap detail dalam budaya memiliki makna mendalam yang layak dihargai dan dilestarikan.