Kohabitasi, atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, menjadi fenomena yang semakin umum di kota-kota besar Indonesia. Generasi muda saat ini melihat pernikahan sebagai institusi dengan aturan yang rumit, sementara kohabitasi dipandang sebagai bentuk hubungan yang lebih sederhana dan mencerminkan cinta serta saling menguntungkan. Menurut teori "Transisi Demografis Kedua" oleh Profesor Ron Lesthaeghe dari Belgia, pernikahan telah kehilangan statusnya sebagai ikatan konvensional berbasis norma sosial, digantikan oleh kohabitasi sebagai model baru dalam pembentukan keluarga.
Di beberapa negara Barat, kohabitasi telah mendapatkan pengakuan hukum dan menjadi pilihan populer. Sebagai contoh, di Belanda, sekitar setengah pasangan memilih untuk hidup bersama tanpa menikah, dengan durasi rata-rata lebih dari empat tahun. Namun, di Asia, termasuk Indonesia, kohabitasi masih belum diakui secara legal karena pengaruh budaya, tradisi, dan agama. Di Indonesia Timur, khususnya di Manado, kohabitasi lebih sering terjadi di kalangan penduduk non-Muslim. Data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa sekitar 0,6% penduduk Manado melakukan kohabitasi, dengan mayoritas berusia di bawah 30 tahun dan memiliki pendidikan SMA atau lebih rendah.
Pertimbangan finansial menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak pasangan memilih kohabitasi. Di Manado, pasangan sering kali memilih tinggal bersama karena mereka belum siap secara finansial untuk menanggung biaya pernikahan yang mahal. Selain itu, proses perceraian yang rumit dan mahal juga membuat kohabitasi menjadi pilihan yang lebih mudah. Faktor lain yang mendorong kohabitasi adalah penerimaan sosial di kalangan masyarakat lokal, yang menempatkan hubungan individu di atas formalitas pernikahan.
Kohabitasi membawa dampak multidimensional, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Tanpa payung hukum yang kuat, mereka menghadapi ketidakpastian ekonomi dan sosial, termasuk ketiadaan kewajiban nafkah dan aturan pembagian aset jika pasangan berpisah. Dampak kesehatan mental akibat ketidakstabilan hubungan juga tidak dapat diabaikan. Stigma sosial yang menyertainya menambah beban bagi anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan dan memberikan perlindungan yang lebih inklusif demi menjaga kesejahteraan perempuan dan anak-anak di tengah dinamika sosial yang terus berkembang. Melalui upaya ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan mendukung semua anggotanya, terlepas dari pilihan hidup mereka.