Everest memang memiliki pesona yang sangat memukau. Ia terletak di perbatasan dua negara dan menjadi tujuan impian bagi banyak pendaki. Keindahan alamnya dan keberadaan sebagai gunung tertinggi membuatnya begitu menarik.
Tapi, untuk mencapai puncaknya, pendaki harus menghadapi banyak tantangan. Mereka harus memiliki keberanian dan ketangguhan yang luar biasa.
Mendaki gunung Everest tidaklah mudah. Upaya tersebut membutuhkan pelatihan dan pengkondisian selama berbulan-bulan, bahkan terkadang bertahun-tahun. Namun, mencapai puncak tidak garansi keberhasilan.
Kendati begitu, setiap pendaki harus menghadapi maut dalam perjalanan selama berhari-hari demi mencapai titik tertinggi di bumi. Sejak eksplorasi pertama kali dimulai pada awal 1900-an, lebih dari 310 orang telah meninggal saat mendaki Gunung Everest.
Tahun 2015, longsoran salju melanda Everest dan menewaskan sedikitnya 19 orang. Dan di 2023, jumlah kematian pendaki telah melampaui angka tersebut. Nepal telah mengeluarkan 463 izin kepada orang yang ingin mendaki Gunung Everest, dan jika ditambah sherpa, sekitar 900 orang akan berusaha mencapai puncaknya pada musim pendakian 2023.
Menurut laporan, mayat pendaki terakhir yang dipulangkan menghabiskan biaya puluhan ribu dolar atau hingga Rp1 miliar. Selain biaya yang mahal, proses mengambil jenazah juga berbahaya dan bisa berakibat fatal. Dua pendaki asal Nepal tewas saat mencoba mengambil jenazah pada tahun 1984.
Saat bertahun-tahun, ada kisah legenda yang sering diceritakan para pendaki Everest. Mereka bercerita tentang seorang pria mati yang disebut “Sepatu Boots Hijau” yang beberapa kali terlihat tergeletak di sebuah gua sekitar 1.130 kaki dari puncak Everest.
Kisah ini menjadi bagian dari keajaiban dan misteri di Gunung Everest. Para pendaki selalu menghadapi hal-hal yang tidak biasa di atas gunung itu.