Pasar
Kebangkrutan Sritex: Dari Kejayaan ke Keterpurukan Industri Tekstil Nasional
2024-10-28
Dunia bisnis tekstil Indonesia kembali dihebohkan dengan kabar mengejutkan. PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL), atau yang lebih dikenal dengan nama Sritex, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Perusahaan yang pernah menjadi ikon industri tekstil nasional ini kini terbelit utang yang menggunung, mencapai lebih dari US$1,6 miliar atau sekitar Rp25,01 triliun. Bagaimana bisa raksasa tekstil ini terjatuh ke dalam jurang kebangkrutan? Simak kisah lengkapnya di artikel ini.
Sritex: Dari Perusahaan Tekstil Terkemuka ke Debitur Terbesar BCA
Sritex, yang dulunya dikenal sebagai "raja tekstil" di Indonesia, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Perusahaan ini resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga akibat utang yang menggunung. Liabilitas SRIL tercatat sebesar US$1,6 miliar atau sekitar Rp25,01 triliun, sementara ekuitasnya telah mencatatkan defisiensi modal sebesar -US$980,56 juta. Salah satu kreditur terbesar Sritex adalah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), yang memiliki tagihan utang bank jangka pendek sebesar US$11,37 juta (Rp177 miliar) dan kredit sebesar US$71,30 juta atau sekitar Rp1,11 triliun. Dengan demikian, BCA menjadi kreditur terbesar bagi Sritex.Langkah BCA dalam Menghadapi Kebangkrutan Sritex
Menanggapi status resmi bangkrut Sritex, BCA menyatakan menghormati proses dan putusan hukum dari Pengadilan Niaga. Pihak BCA juga menghargai langkah Sritex yang sedang mengajukan kasasi atas keputusan tersebut.Lebih lanjut, BCA menegaskan bahwa pihaknya terbuka untuk berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk dengan pihak kurator yang ditunjuk oleh pengadilan, dalam rangka mencapai solusi dan/atau penyelesaian terbaik bagi debitur dan seluruh kreditur yang ada.Kualitas Kredit BCA Tetap Terjaga
Meskipun menghadapi kasus kebangkrutan Sritex, BCA meyakinkan bahwa pencadangan dan kualitas kredit di bank tersebut masih terjaga dengan baik. Hera F. Haryn, EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA, memaparkan bahwa rasio kredit dalam risiko atau loan at risk (LAR) BCA mencapai 6,1% pada sembilan bulan pertama tahun 2024, membaik dari posisi setahun lalu di angka 7,9%. Sementara rasio kredit bermasalah (NPL) berada di tingkat yang terjaga sebesar 2,1%.Selain itu, pencadangan LAR dan NPL BCA juga ada pada tingkat yang memadai, masing-masing 73,5% dan 193,9%. Hal ini menunjukkan bahwa BCA telah melakukan langkah-langkah proaktif untuk menjaga kualitas kredit dan memitigasi risiko yang mungkin timbul akibat kasus kebangkrutan Sritex.Dominasi Utang Jangka Panjang di Sritex
Berdasarkan laporan keuangan Sritex per semester I-2024, liabilitas perusahaan didominasi oleh liabilitas jangka panjang, dengan perolehan sebesar US$1,47 miliar. Sementara liabilitas jangka pendeknya tercatat sebesar US$131,42 juta.Utang bank menjadi salah satu pos paling besar yang menyumbang liabilitas jangka panjang Sritex, dengan nilai sebesar US$809,99 juta atau sekitar Rp12,66 triliun. Hingga paruh pertama tahun ini, setidaknya terdapat 28 bank yang memiliki tagihan kredit jangka panjang atas Sritex, dengan BCA menjadi kreditur terbesar.Masa Depan Sritex: Antara Harapan dan Tantangan
Dengan status resmi bangkrut, Sritex kini menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Namun, pihak Sritex telah mengajukan kasasi atas keputusan Pengadilan Niaga, menunjukkan adanya upaya untuk mempertahankan keberadaan perusahaan.Ke depannya, Sritex harus berjuang keras untuk menyelesaikan permasalahan utangnya dan menemukan solusi yang terbaik bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk kreditur dan karyawan. Keberhasilan Sritex dalam menghadapi tantangan ini akan menentukan apakah perusahaan dapat bangkit kembali dari keterpurukan atau harus menerima nasib sebagai salah satu ikon industri tekstil yang tumbang.