Dalam lansiran terbaru, pengamat ekonomi Ibrahim Assuaibi menyoroti bahwa pelemahan rupiah tidak hanya dipicu oleh faktor internasional tetapi juga oleh dinamika eksternal. Sentimen global menjadi salah satu pendorong utama, dengan ancaman tarif perdagangan dari Amerika Serikat yang semakin intens. Trump, dalam beberapa pernyataannya, telah mengancam untuk menerapkan tarif 100% terhadap negara-negara BRICS, termasuk Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, atas upaya mereka untuk menciptakan mata uang alternatif dan menjauh dari dominasi dolar AS.
Hal ini menciptakan situasi yang sulit bagi investor, yang kini harus berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Ancaman tersebut juga mencakup tarif 25% pada ekspor Kanada dan Meksiko jika kedua negara tidak menghentikan pengiriman fentanil melintasi perbatasan AS. Selain itu, ada juga spekulasi tentang kemungkinan penerapan tarif 10% terhadap produk-produk China, yang semakin memperketat suasana ketegangan perdagangan global.
Ketidakstabilan ekonomi global bukanlah fenomena baru, namun dampaknya terhadap mata uang lokal seperti rupiah semakin terasa. Sebuah studi dari Pusat GeoEkonomi Dewan Atlantik menunjukkan bahwa dolar AS masih mendominasi sebagai mata uang cadangan utama dunia. Meskipun euro dan mata uang BRICS berusaha mengurangi ketergantungan pada dolar, langkah-langkah ini belum cukup efektif untuk mengubah paradigma ekonomi global.
Situasi ini menciptakan tekanan tambahan pada rupiah, yang kini harus berjuang keras untuk mempertahankan nilainya. Federal Reserve yang memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan tanpa perubahan juga memberikan sinyal hati-hati dalam menghadapi tantangan inflasi yang sedang berlangsung di ekonomi terbesar dunia. Data indeks harga PCE utama, yang merupakan indikator inflasi utama bagi Fed, akan dirilis pada akhir pekan ini dan dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang arah kebijakan moneter AS.
Di sisi domestik, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis untuk merespons situasi ekonomi yang sulit. Salah satunya adalah efisiensi anggaran sebesar Rp306,69 triliun, yang sebagian besar dialihkan untuk pendanaan program makan bergizi gratis. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ekonom menyatakan bahwa relokasi anggaran ini mungkin tidak secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bahkan, ada potensi dampak negatif jika program ini tidak diimplementasikan dengan baik. Namun, program makan bergizi gratis memiliki potensi untuk berdampak positif pada ekonomi melalui peningkatan konsumsi. Permintaan akan bahan-bahan makanan untuk pemenuhan program ini akan meningkat, yang pada gilirannya dapat mendorong aktivitas ekonomi di sektor-sektor terkait. Ini menunjukkan bahwa meskipun tantangan besar, langkah-langkah domestik tetap memiliki peluang untuk memberikan manfaat.