Perselisihan hukum yang melibatkan mantan istri Presiden Indonesia pertama, Dewi Sukarno, menarik perhatian publik. Pengadilan Buruh Jepang memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dua karyawan oleh Dewi pada tahun 2021 tidak sah dan menjatuhkan denda sebesar 29 juta yen atau sekitar Rp3,03 miliar. Keputusan ini mencakup kompensasi gaji, lembur, dan hak lainnya selama tiga tahun. Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan hak pekerja dan sikap majikan dalam situasi pandemi.
Di tengah-tengah musim dingin yang dingin di Jepang, sebuah keputusan pengadilan mengejutkan dunia bisnis. Pengadilan Buruh Jepang telah mengeluarkan putusan terhadap Naoko Nemoto, lebih dikenal sebagai Dewi Sukarno. Pada tahun 2021, ketika situasi pandemi masih berlangsung, Dewi memutuskan hubungan kerja dengan dua karyawannya karena mereka enggan datang ke kantor karena khawatir akan paparan virus. Kedua karyawan tersebut kemudian mengajukan gugatan pada Maret 2022. Pengadilan menyatakan bahwa PHK tersebut ilegal dan memerintahkan Dewi untuk membayar kompensasi sebesar 29 juta yen kepada kedua karyawan tersebut.
Dewi Sukarno, yang lahir dengan nama Naoko Nemoto, memiliki latar belakang yang unik. Ia bertemu dengan Presiden Soekarno pada tahun 1959 di Tokyo dan menikahinya pada 1962. Setelah masa pengasingan di Prancis, Swiss, dan Amerika Serikat, ia akhirnya kembali ke Jepang. Di sana, Dewi aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan amal, termasuk mendirikan Earth Aid Society pada tahun 2005.
Berbekal reputasinya sebagai Dewi Fujin, Dewi juga menjadi tokoh terkenal di dunia kecantikan dan perhiasan di Jepang. Namun, kasus PHK ini menunjukkan bahwa bahkan figur publik sekalipun harus tetap taat pada hukum dan peraturan ketenagakerjaan.
Dari perspektif pembaca, kasus ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya menghargai hak pekerja, terutama dalam situasi darurat seperti pandemi. Keputusan pengadilan menegaskan bahwa setiap majikan harus bertanggung jawab dan bijaksana dalam membuat keputusan yang dapat mempengaruhi nasib karyawan. Hal ini juga mengingatkan kita bahwa reputasi dan status sosial tidak dapat melepaskan seseorang dari tanggung jawab hukum.