Gaya Hidup
Ilmuwan RI Tewas Dibunuh Diduga usai Bantah Riset Asing
2024-10-01

Tragedi Ilmuwan Indonesia yang Tewas Dihukum Mati oleh Jepang

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, seorang ilmuwan Indonesia bernama Achmad Mochtar mengalami nasib tragis. Mochtar, yang memimpin Eijkman Instituut, dituduh terlibat dalam kematian ratusan romusha akibat suntikan vaksin. Tuduhan ini kemudian menyebabkan Mochtar disiksa dan dihukum mati oleh pihak Jepang. Namun, setelah kematiannya, terungkap bahwa Mochtar dan institusinya tidak terbukti terlibat dalam insiden tersebut. Sebaliknya, Mochtar dianggap menjadi kambing hitam atas kesalahan ilmuwan Jepang yang melakukan eksperimen vaksin tetanus pada romusha.

Mengungkap Kebenaran di Balik Tragedi Achmad Mochtar

Penangkapan dan Penyiksaan Achmad Mochtar

Pada 7 Oktober 1944, Achmad Mochtar dipanggil oleh polisi militer Jepang ke rumahnya. Mochtar, yang saat itu memimpin Eijkman Instituut, diduga terlibat dalam kematian ratusan romusha akibat suntikan vaksin. Meskipun tidak ada bukti langsung atas tuduhan tersebut, Mochtar tetap ditahan dan disiksa di penjara Kempetai.Penyiksaan yang dialami Mochtar sangat parah, hingga raungan kesakitannya terdengar sampai ke gedung-gedung sekitar. Setelah melalui penyiksaan yang berkepanjangan, Mochtar akhirnya dihukum mati dengan cara dipancung di Ancol pada 3 Juli 1945. Kondisi Mochtar saat itu sangat mengenaskan, dengan kepala yang terpisah dari badannya.

Tuduhan Palsu dan Motif Tersembunyi

Beberapa tahun setelah kematian Mochtar, terungkap bahwa ia dan Eijkman Instituut tidak terbukti terlibat dalam kematian romusha. Penelitian yang dilakukan oleh Sangkot Marzuki dan Kevin Baird mengungkapkan bahwa Jepang hanya menjadikan Mochtar dan Eijkman Instituut sebagai kambing hitam atas kesalahan ilmuwan Jepang yang melakukan eksperimen vaksin tetanus pada romusha.Namun, ada dugaan bahwa kematian Mochtar juga disebabkan oleh dendam yang sudah lama ditargetkan. Hal ini terkait dengan bantahan Mochtar terhadap penelitian ilmuwan Jepang, Noguchi Hideyo, dua dekade sebelumnya. Mochtar telah mengungkap kesalahan Noguchi dalam penelitiannya tentang demam kuning, yang membuat reputasi Noguchi runtuh.

Peran Noguchi Hideyo dalam Tragedi Mochtar

Noguchi Hideyo adalah ilmuwan Jepang yang sangat terkenal dan sering dinominasikan untuk menerima Hadiah Nobel Kedokteran. Pada tahun 1913, Noguchi berhasil mengungkap penyebab kelumpuhan dan gangguan syaraf pada penderita sifilis, yaitu bakteri Triponema pallidium.Kemudian, pada tahun 1922, Noguchi juga berhasil menemukan penyebab demam kuning yang saat itu mewabah di banyak negara, yaitu bakteri Leptospira icteroides. Namun, temuan Noguchi ini kemudian dibantah oleh Achmad Mochtar melalui disertasi doktoralnya di Universitas Amsterdam.Mochtar mengungkapkan bahwa bakteri Leptospira icteroides yang ditemukan Noguchi sebenarnya bukan penyebab demam kuning, melainkan penyakit Weil. Mochtar menyatakan bahwa Noguchi melakukan kesalahan dalam eksperimennya karena hanya mengambil sedikit sampel.Ketika disertasi Mochtar terbit, dunia kedokteran terkejut. Ternyata, ilmuwan ternama asal Jepang, Noguchi Hideyo, telah melakukan kesalahan fatal yang diungkap oleh seorang ilmuwan Indonesia yang belum dikenal luas. Hal ini tentu sangat melukai harga diri Noguchi.

Kematian Tragis Achmad Mochtar

Setelah Mochtar berhasil membantah penelitian Noguchi, Jepang diduga menyita salinan disertasi Mochtar. Selain itu, Jepang juga hanya melakukan pemancungan kepala terhadap Mochtar, yang saat itu menjabat sebagai kepala laboratorium Eijkman Instituut.Sangkot Marzuki dan Kevin Baird menyatakan bahwa nama dan reputasi Noguchi Hideyo kemungkinan memainkan peran penting dalam nasib yang menimpa Achmad Mochtar. Jepang mungkin terpicu oleh kebanggaan nasionalistik yang salah kaprah, sehingga memutuskan untuk menghukum Mochtar.Hingga saat ini, Noguchi Hideyo masih sangat dihormati di Jepang, bahkan wajahnya menjadi gambar mata uang kertas 1.000 Yen Jepang. Sementara itu, Achmad Mochtar, meskipun telah terbukti tidak bersalah, namun nama baiknya tidak pernah dipulihkan.
More Stories
see more