Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, khususnya selama periode Orde Baru dari tahun 1968 hingga 1998, masyarakat Tionghoa di Indonesia menghadapi berbagai pembatasan dalam merayakan perayaan budaya mereka. Salah satu kebijakan yang paling mencolok adalah larangan merayakan Imlek secara publik. Kebijakan ini bukan hanya mempengaruhi perayaan Imlek, tetapi juga berdampak luas pada aspek lain kehidupan masyarakat Tionghoa, termasuk pendidikan, media, dan seni budaya. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 menjadi dasar hukum untuk membatasi ekspresi budaya Tionghoa, dengan alasan menciptakan stabilitas nasional.
Awal mula kebijakan ini dapat ditelusuri ke situasi politik pasca-tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Pemerintah Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto, merasa perlu mengendalikan isu-isu yang berkaitan dengan komunisme. Salah satu tindakan yang diambil adalah mencurigai hubungan antara komunitas Tionghoa dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dalam konteks ini, kebudayaan Tionghoa dilihat sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas nasional. Kebijakan ini membatasi perayaan Imlek hanya dalam lingkup keluarga, serta melarang pertunjukan tradisional Tionghoa seperti barongsai dan liong di ruang publik. Penggunaan aksara Mandarin juga dilarang dalam acara-acara resmi.
Berbagai aspek kehidupan masyarakat Tionghoa terkena dampak signifikan akibat kebijakan ini. Misalnya, pendidikan bagi anak-anak Tionghoa menjadi terbatas, dan media serta seni budaya Tionghoa mengalami penyensoran. Menurut penelitian Siew-Min Sai dan Chang-Yau Hoon dalam "Chinese Indonesians Reassessed" (2013), Soeharto khawatir bahwa kebudayaan Tionghoa dapat memberikan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang tidak sesuai terhadap warga negara Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa mendalam pengaruh kebijakan tersebut dalam membentuk identitas dan kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa.
Kebijakan larangan merayakan Imlek di era Orde Baru mencerminkan upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas nasional melalui kontrol ketat atas ekspresi budaya. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk menghindari konflik sosial, kebijakan ini justru menimbulkan tantangan tersendiri bagi masyarakat Tionghoa dalam melestarikan warisan budaya mereka. Efek dari kebijakan ini masih dirasakan hingga saat ini, meskipun telah ada banyak langkah liberalisasi setelah era Orde Baru berakhir.