Kolaborasi merupakan inti dari prinsip-prinsip NU dalam menghadapi tantangan zaman. Konsep ini bukan hanya sekadar tolong-menolong dalam hal-hal praktis, tetapi juga mencakup aspek spiritual yang mendalam. QS Al-Maidah: 2 mengajarkan bahwa kita harus saling membantu dalam kebajikan dan takwa, bukan dalam dosa dan pelanggaran. Dalam konteks modern, kolaborasi menjadi alat strategis yang penting untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.
Dengan lebih dari 56,9% penduduk Indonesia atau sekitar 159 juta orang yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari NU (data LSI 2023), organisasi ini memiliki kapasitas besar untuk menjadi katalis dalam mewujudkan semangat kolaborasi ini. Basis anggota yang luas ini menunjukkan tidak hanya kekuatan demografis NU, tetapi juga tanggung jawab besar dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam rahmatan lil alamin ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Sepanjang sejarah, Islam telah membuktikan bahwa kolaborasi adalah pilar utama dalam pembentukan peradaban. Pada era Kekhalifahan Abbasiyah, ilmuwan Muslim bekerja sama dengan berbagai budaya seperti Yunani, Persia, dan India untuk menghasilkan inovasi besar dalam ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Kolaborasi lintas budaya ini menjadi bukti bahwa kemajuan peradaban tidak bisa dicapai secara eksklusif, melainkan melalui sinergi yang inklusif.
Pemikir Islam seperti Ibn Khaldun menekankan bahwa peradaban inklusif adalah peradaban yang terbuka terhadap dialog lintas budaya dan agama, menciptakan ruang bagi keberagaman untuk berkembang menjadi kekuatan bersama. Hal ini tetap relevan di era modern, di mana tantangan global seperti perubahan iklim, disinformasi, dan ketimpangan sosial memerlukan pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Tantangan zaman saat ini menempatkan agama dalam sorotan yang semakin tajam. Konflik berbasis agama di Timur Tengah terus menciptakan ketegangan yang meluas lintas negara. Di sisi lain, meningkatnya Islamofobia di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan tantangan persepsi global terhadap Islam yang perlu dijawab dengan narasi Islam moderat. Populisme agama, yang mempolarisasi masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin memperjelas urgensi untuk memperkuat narasi keberagaman dan toleransi.
NU, dengan warisan Islam moderatnya, memiliki posisi strategis untuk menjawab tantangan ini melalui kolaborasi lintas agama dan budaya. Selain itu, krisis ekologi telah menciptakan ancaman nyata yang memerlukan solusi berbasis nilai keagamaan. Pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan eksploitasi sumber daya alam menuntut respons yang terkoordinasi. Dalam hal ini, NU dapat memainkan peran penting melalui pendekatan keberlanjutan yang terinspirasi oleh nilai-nilai Islam.
Perkembangan teknologi digital juga menghadirkan disrupsi sosial yang signifikan. Teknologi digital telah menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi organisasi seperti NU. Di satu sisi, teknologi dapat digunakan untuk memperluas jangkauan dakwah, mempromosikan Islam moderat, dan membangun kesadaran global tentang nilai-nilai keislaman yang inklusif. Namun, di sisi lain, teknologi juga digunakan untuk menyebarkan disinformasi, narasi ekstremis, dan hoaks yang merusak harmoni sosial.
Oleh karena itu, literasi digital menjadi agenda penting bagi NU untuk memastikan penggunaan teknologi yang mendukung keberlanjutan peradaban. Melalui pendidikan dan pemahaman yang mendalam, NU dapat mempersiapkan generasi muda untuk menggunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab, sehingga menciptakan masyarakat yang lebih cerdas dan lebih kuat.