Gaya Hidup
Menyorot Fenomena "Kumpul Kebo" di Indonesia: Tantangan Sosial dan Hukum yang Perlu Dihadapi
2024-11-03
Fenomena "kumpul kebo" atau pasangan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah semakin marak di Indonesia, meskipun norma hukum dan agama tidak menyetujui praktik ini. Pergeseran pandangan di kalangan anak muda terkait relasi dan pernikahan menjadi salah satu faktor utama yang mendorong tren ini. Namun, "kumpul kebo" di Indonesia masih dianggap tabu dan tidak mendapat pengakuan legal, berbeda dengan beberapa negara Barat.
Menyorot Fenomena "Kumpul Kebo" di Indonesia
### Pergeseran Pandangan Anak MudaSaat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan sebagai hal normatif dengan aturan yang rumit. Sebagai gantinya, mereka memilih "kumpul kebo" sebagai bentuk hubungan yang lebih murni dan nyata dari cinta. Fenomena ini mencerminkan adanya pergeseran nilai-nilai di kalangan generasi muda, yang lebih mementingkan kebebasan dan kemandirian dalam menjalani hubungan.### Perbedaan Budaya dan TradisiBerbeda dengan Eropa Barat dan Utara, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, di Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, "kumpul kebo" tidak mendapatkan pengakuan legal. Di Indonesia, praktik ini hanya dianggap sebagai langkah awal menuju pernikahan dan tidak diterima secara luas.### Fenomena di Indonesia TimurStudi pada 2021 berjudul "The Untold Story of Cohabitation" mengungkapkan bahwa "kumpul kebo" lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan penerimaan sosial terhadap praktik ini di berbagai wilayah di Indonesia.### Alasan Pasangan Memilih "Kumpul Kebo"Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado memilih untuk "kumpul kebo" bersama pasangan, yaitu beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, dan penerimaan sosial.### Profil Pasangan "Kumpul Kebo"Berdasarkan data Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi. Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal.### Dampak Negatif "Kumpul Kebo"Yulinda menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat "kumpul kebo" adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Selain itu, "kumpul kebo" juga dapat menurunkan kepuasan hidup dan menimbulkan masalah kesehatan mental.Menurut data PK21, sebanyak 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62 persen mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, serta emosional.Fenomena "kumpul kebo" di Indonesia merupakan tantangan sosial dan hukum yang perlu mendapat perhatian serius. Diperlukan upaya komprehensif untuk memahami akar permasalahan dan mencari solusi yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama di Indonesia, serta melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak yang terlibat dalam praktik ini.