Pada setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia merayakan peringatan kemerdekaannya. Meskipun proklamasi kemerdekaan dinyatakan pada tahun 1945, pengakuan internasional terhadap kemerdekaan ini tidak langsung diterima. Belanda, mantan penjajah, membutuhkan lebih dari empat tahun untuk akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi. Artikel ini akan membahas perjalanan panjang menuju pengakuan tersebut dan dampak historis yang ditimbulkannya.
Berawal dari hari yang bersejarah di bulan Agustus 1945, ketika pemimpin nasional Soekarno menyatakan kemerdekaan bagi tanah air, Belanda awalnya menolak klaim tersebut. Motif ekonomi menjadi alasan utama penolakan ini. Sebagai negara kolonial, Belanda sangat bergantung pada sumber daya Hindia Belanda, yang saat itu memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Dengan demikian, kehilangan wilayah ini berarti kerugian besar bagi perekonomian Belanda.
Dalam upaya menjaga kontrol, pasukan Belanda kembali mendatangi Indonesia pada akhir tahun 1945. Hal ini memicu konflik bersenjata antara kedua belah pihak. Militer Indonesia berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kemerdekaannya. Konflik ini berlangsung hingga tahun 1949, ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) diselenggarakan. Salah satu hasil penting dari konferensi ini adalah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Meski akhirnya mengakui kemerdekaan, Belanda tetap meminta pembayaran hutang-hutang masa kolonial kepada Indonesia. Ini menciptakan beban ekonomi tambahan bagi negeri yang baru saja merdeka. Proses revisi pengakuan kemerdekaan sendiri juga mengalami beberapa hambatan. Misalnya, pada tahun 1995, Ratu Beatrix sempat berniat mengubah tanggal pengakuan kemerdekaan menjadi 17 Agustus 1945, namun usulan ini ditolak oleh veteran perang dan pejabat pemerintah Belanda.
Tidak sampai tahun 2005, ketika Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot hadir dalam upacara 17 Agustus di Istana Negara Jakarta, bahwa pengakuan kemerdekaan resmi diubah menjadi 17 Agustus 1945. Pada kesempatan ini, Bot juga menyampaikan penyesalan atas penderitaan yang dialami rakyat Indonesia selama masa penjajahan. Baru pada tahun 2023, Raja Willem-Alexander secara resmi meminta maaf atas aksi kolonialisme Belanda.
Dari perspektif seorang jurnalis, cerita ini mengingatkan kita tentang pentingnya keadilan historis dan pengakuan hak-hak asasi manusia. Setelah sekian lama, pengakuan dan permintaan maaf dari Belanda memberikan harapan bahwa masa lalu dapat dipulihkan melalui dialog dan pemahaman bersama. Ini juga menunjukkan bahwa proses perubahan membutuhkan waktu dan usaha yang konstan dari semua pihak yang terlibat.