Peningkatan ketidakseimbangan gender dan populasi yang menua dengan cepat di Cina telah memperburuk masalah perdagangan pengantin dari berbagai negara Asia. Fenomena ini tidak hanya melibatkan negara-negara Asia Tenggara, tetapi juga mencakup wilayah Asia Selatan seperti Nepal, Pakistan, dan Bangladesh. Korea Utara tetap menjadi sumber utama perdagangan manusia untuk pernikahan dan perbudakan seksual. Para peneliti menyoroti bahwa Myanmar, Vietnam, dan Kamboja telah menjadi target utama bagi para pelaku perdagangan pengantin asal Cina dalam dua dekade terakhir. Kasus-kasus baru dari Nepal, Korea Utara, dan Pakistan semakin memperkuat kekhawatiran global tentang praktik ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, Cina menghadapi tantangan serius akibat lonjakan perdagangan pengantin dari berbagai negara Asia. Ketidakseimbangan gender dan populasi yang semakin tua telah mendorong permintaan tinggi terhadap perempuan dari negara-negara dengan ekonomi lemah. Praktik ini telah berkembang pesat sejak 2016, dengan laporan-laporan terbaru menunjukkan peningkatan tajam di Bangladesh, Nepal, Korea Utara, dan Pakistan.
Para korban biasanya didekati oleh agen atau calo yang menjanjikan pekerjaan di bidang pertanian atau industri jasa di Cina. Namun, kenyataannya mereka sering kali dijual ke dalam perbudakan seksual. Salah satu kasus yang mencolok terjadi di Bangladesh pada tahun 2024, di mana seorang ibu melaporkan putrinya dipaksa menikah dengan pria Cina bernama Cui Po Wei. Pernikahan tersebut ternyata merupakan tipu muslihat yang berujung pada eksploitasi seksual di rumah bordil di Cina. Ibu korban mengajukan pengaduan hukum terhadap suami dan orang-orang yang terlibat dalam pengaturan pernikahan tersebut.
Kasus ini menunjukkan bagaimana jaringan perdagangan manusia terorganisir memanfaatkan ketidakberdayaan korban dan menjual mereka untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi paksa. Keadaan ini semakin memperkuat kebutuhan akan tindakan internasional yang lebih kuat untuk mengatasi masalah perdagangan pengantin dan perlindungan hak-hak perempuan.
Dari perspektif seorang jurnalis, fenomena ini mengingatkan kita akan pentingnya kolaborasi antar-pemerintah dan organisasi internasional dalam melawan perdagangan manusia. Perlindungan korban dan penegakan hukum yang lebih ketat adalah langkah-langkah esensial untuk mengurangi insiden perdagangan pengantin dan mencegah eksploitasi lebih lanjut. Semua pihak harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan perlindungan yang layak dan keadilan yang dibutuhkan.