Dengan kedatangan Tahun Baru Imlek pada 29 Januari 2025, etnis Tionghoa di Indonesia merayakannya sebagai bagian dari keberagaman budaya dan agama yang diakui sejak era Presiden Gus Dur. Sejarah masuknya etnis Tionghoa ke Nusantara memiliki berbagai versi, namun catatan awal menunjukkan bahwa mereka telah hadir sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Perjalanan pertama pendeta Tionghoa Fa-hien ke Pulau Jawa pada abad ke-4 membuka jalan bagi interaksi lebih lanjut antara Tiongkok dan Nusantara. Seratus tahun kemudian, pendeta lain seperti Sunyun dan Hwui-ing serta I-tsing melakukan perjalanan serupa, menguatkan hubungan dagang dan spiritual antara kedua wilayah.
Berbagai sumber sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa telah lama berinteraksi dengan masyarakat Nusantara. Salah satu bukti awal adalah kunjungan pendeta Fa-hien ke Pulau Jawa pada akhir abad ke-4. Catatan perjalanannya menjadi sumber penting dalam memahami hubungan antara Tiongkok dan Nusantara pada masa itu. Kunjungan ini tidak hanya membuka jalan bagi perdagangan tetapi juga pertukaran budaya dan pengetahuan.
Kunjungan Fa-hien tercatat dalam bukunya "Fahueku", yang memberikan gambaran tentang kehidupan di Pulau Jawa pada masa itu. Catatan ini sangat berharga karena menyediakan informasi detail tentang struktur sosial, ekonomi, dan religius. Selain itu, kunjungan pendeta-pendeta lain seperti Sunyun dan Hwui-ing pada tahun 518 menambah bukti adanya hubungan yang sudah mapan antara kedua wilayah tersebut. Interaksi ini semakin diperkuat oleh perjalanan I-tsing pada tahun 671, yang melalui Sriwijaya menuju India. Perjalanan I-tsing berlangsung selama 25 tahun, menunjukkan betapa pentingnya rute ini dalam pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan.
Sriwijaya menjadi pusat penting dalam pertukaran budaya dan perdagangan antara Tiongkok dan Nusantara. Kapal-kapal dagang yang berlayar dari Kanton ke pelabuhan Melayu di Sriwijaya membawa barang-barang perdagangan dan pengetahuan baru. Meskipun I-tsing tidak secara khusus menyebutkan kehadiran orang Tionghoa yang menetap di pelabuhan-pelabuhan tersebut, catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa hubungan pelayaran antara kedua wilayah sudah mapan sejak abad ke-7.
Hubungan dagang ini tidak hanya melibatkan kapal-kapal Tiongkok tetapi juga kapal-kapal asing seperti Persia dan India. Pertukaran ini membawa pengaruh budaya, teknologi, dan ide-ide baru ke Nusantara. Pada masa itu, Sriwijaya menjadi titik transit penting bagi para pedagang dan pelancong dari berbagai negara. Keberadaan pelabuhan yang strategis membuat Sriwijaya menjadi pusat perdagangan regional yang signifikan. Interaksi ini juga mempengaruhi perkembangan agama dan filsafat di Nusantara, terutama melalui ajaran Buddha yang dibawa oleh pendeta-pendeta Tionghoa. Akhirnya, hubungan erat ini menjadi dasar bagi integrasi etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Nusantara yang beragam.