Berawal dari pusat komersial Osaka, nyonya Itooka lahir pada 23 Mei 1908. Dia telah melewati berbagai fase penting dalam sejarah modern, termasuk dua perang dunia, pandemi global, serta revolusi teknologi yang mengubah wajah dunia. Keberanian dan optimisme yang ditunjukkan oleh Itooka selama hidupnya memberikan pelajaran berharga bagi generasi mendatang.
Hidup di era yang penuh tantangan, Itooka menunjukkan ketangguhan sejak awal. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dia menghabiskan masa mudanya dengan aktif bermain bola voli, sebuah hobi yang membentuk karakter dan semangat kompetitifnya. Aktivitas ini tidak hanya memperkuat fisiknya tetapi juga melatih mental dan kerja sama tim.
Pengalamannya di masa muda membentuk dasar kuat bagi kehidupan yang panjang dan bermakna. Meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini tetap menjadi pedoman hidupnya. Ketekunan dan disiplin yang dibina sejak awal menjadi kunci utama dalam menjalani setiap tahapan kehidupan.
Itooka menghabiskan hari-harinya yang terakhir di sebuah panti jompo di Ashiya, tempat ia tinggal sejak tahun 2019. Meski usianya sudah lanjut, dia masih menikmati hal-hal sederhana yang memberikan kebahagiaan. Pisang dan Calpis, minuman ringan populer di Jepang, menjadi teman setianya. Kehadirannya di panti jompo bukan hanya sebagai penghuni, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi para staf dan penduduk lainnya.
Ketika Wali Kota Ashiya, Ryosuke Takashima, menyampaikan rasa syukur atas kontribusi Itooka, dia menekankan betapa besar dampak positif yang diberikan oleh sosok tersebut. "Nyonya Itooka memberi kami keberanian dan harapan melalui umur panjangnya," ungkapnya. Dengan kata-kata itu, Takashima mengungkapkan apresiasi mendalam kepada wanita yang telah menjadi simbol kekuatan dan ketahanan.
Perkembangan demografi di Jepang menunjukkan tren yang signifikan. Pada September lalu, lebih dari 95.000 orang berusia 100 tahun atau lebih tinggal di negara ini, dengan 88 persen di antaranya adalah perempuan. Fakta ini mencerminkan kecenderungan umur panjang yang dominan pada gender perempuan. Namun, di balik angka-angka tersebut terdapat tantangan serius.
Penambahan populasi lansia berdampak langsung pada sistem kesehatan dan kesejahteraan sosial. Biaya pengobatan dan perawatan yang meningkat menjadi beban berat bagi pemerintah dan masyarakat. Selain itu, penurunan jumlah angkatan kerja yang harus membiayai program-program ini menjadi isu penting yang perlu diselesaikan. Dengan hampir sepertiga dari 124 juta penduduk berusia 65 tahun ke atas, Jepang menghadapi krisis demografi yang membutuhkan solusi inovatif dan komprehensif.