Pada hari Jumat, 7 Februari 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mencoba meredakan ketegangan yang timbul akibat rencananya untuk mengambil alih Jalur Gaza. Meskipun Trump menggambarkan inisiatif ini sebagai "transaksi real estat" yang diterima dengan baik, rencana tersebut mendapat kritik luas dari berbagai pihak, termasuk pemimpin regional dan anggota Partai Republik di Capitol Hill. Situasi ini menunjukkan kompleksitas geopolitik Timur Tengah dan tantangan dalam mencapai solusi perdamaian.
Pada sebuah acara di Ruang Oval, Trump menyatakan bahwa Jalur Gaza akan diserahkan kepada AS oleh Israel, dengan Israel tetap bertanggung jawab atas keamanan wilayah tersebut. Dia menekankan bahwa rencana ini tidak melibatkan penempatan pasukan AS di lapangan. Namun, rencana ini dianggap kontroversial oleh banyak pihak. Jonathan Kuttab, seorang pengacara hak asasi manusia internasional dan Direktur Eksekutif FOSNA, mengkritik keras usulan Trump. Kuttab menilai bahwa rencana ini melanggar hukum internasional dan dimensi moralnya sangat dipertanyakan. Menurutnya, upaya semacam itu bisa dianggap sebagai kejahatan perang dan bentuk pembersihan etnis terhadap lebih dari dua juta warga Palestina di Jalur Gaza.
Dari perspektif hukum dan etika, Kuttab mempertanyakan bagaimana mungkin suatu negara dapat mengambil alih wilayah lain tanpa izin atau konsensus internasional. Dia juga menyoroti fakta bahwa rencana ini diumumkan di hadapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang telah lama dikritik karena tindakannya di Gaza. Kuttab menyatakan bahwa situasi ini tidak sesuai dengan standar modern dan prinsip-prinsip hukum internasional.
Dalam konteks ini, rencana Trump tampaknya menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Ini menunjukkan betapa rumitnya isu-isu di Timur Tengah dan pentingnya pendekatan diplomasi yang hati-hati serta penghormatan terhadap hukum internasional.
Dari sudut pandang seorang jurnalis, rencana Trump ini menyoroti pentingnya dialog dan konsensus internasional dalam menyelesaikan konflik. Langkah-langkah unilateraltidak hanya dapat memperburuk situasi, tetapi juga melanggar norma-norma hukum dan etika global. Di tengah kompleksitas geopolitik Timur Tengah, solusi yang berbasis hukum dan moral menjadi semakin penting untuk dicapai.