Sritex: Dari Kejayaan Hingga Kebangkrutan, Kisah Menakjubkan Raksasa Industri Tekstil Asia Tenggara
Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang. Perusahaan yang dikenal sebagai "raja tekstil terintegrasi" ini memiliki sejarah yang panjang dan penuh dengan kisah menarik, mulai dari awal berdirinya hingga akhirnya mengalami kebangkrutan.Menyingkap Kisah Sukses dan Kejatuhan Kerajaan Bisnis Sritex
Dari Pedagang Tekstil Menjadi Raksasa Industri
Sritex berawal dari usaha kecil-kecilan yang dirintis oleh Lukminto, seorang peranakan Tionghoa yang lahir pada tahun 1946. Lukminto memulai karirnya sebagai pedagang tekstil di Solo pada usia 20-an. Berkat ketekunan dan keuletan, bisnisnya terus berkembang pesat. Pada tahun 1966, di usia 26 tahun, Lukminto berani menyewa kios di Pasar Klewer dan mendirikan UD Sri Redjeki. Dua tahun kemudian, ia mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Inilah awal mula berdirinya PT Sri Rejeki Isman atau Sritex.
Sritex terus tumbuh dan berkembang, menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia. Kedekatannya dengan Presiden Soeharto dan keluarga Cendana diyakini menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan Sritex. Pada masa Orde Baru, Sritex mendapatkan banyak proyek pengadaan seragam yang disponsori oleh pemerintah, seperti seragam Korpri, Golkar, dan ABRI.
Kejayaan Sritex di Bawah Kepemimpinan Iwan Lukminto
Setelah Lukminto, tongkat estafet kepemimpinan Sritex diteruskan oleh putra tertuanya, Iwan Lukminto. Iwan bergabung dengan Sritex sejak tahun 1997 dan membawa perusahaan ini menjadi produsen tekstil kelas internasional. Selama pandemi COVID-19, Sritex juga turut memproduksi perlengkapan medis untuk perlindungan.
Selain bisnis tekstil, keluarga Lukminto juga memiliki lini bisnis di sektor lain, seperti perhotelan, kertas, pariwisata, dan olahraga. Beberapa hotel bintang lima yang dimiliki Sritex antara lain Diamond, Grand Orchid, @Hom, Grand Quality, serta dua hotel Holiday Inn Express di Yogyakarta dan Bali. Selain itu, Lukminto juga memiliki perusahaan kertas bernama PT Sriwahana Adityakarta (SWAT) yang resmi melantai di bursa pada tahun 2018.
Runtuhnya Kerajaan Bisnis Sritex
Namun, kejayaan Sritex tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 2024, Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang. Selain Sritex, anak perusahaan lainnya, seperti PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, juga turut dinyatakan pailit.
Penyebab kebangkrutan Sritex diduga akibat berbagai faktor, seperti utang yang membengkak, dampak pandemi COVID-19, dan persaingan yang semakin ketat di industri tekstil. Meskipun sempat menjadi raksasa industri tekstil di Asia Tenggara, Sritex akhirnya harus mengakui kekalahannya dan menyerahkan tahta kerajaan bisnisnya.