Gaya Hidup
Gejala Konsumtif: Fenomena Pay Later di Singapura dan Indonesia
2025-01-14
Di tengah kemajuan teknologi finansial, layanan pembayaran alternatif semakin populer di berbagai belahan dunia. Salah satu tren yang menarik perhatian adalah fenomena "pay later" atau "bayar nanti". Di Singapura, negara dengan ekonomi maju, masyarakatnya kini terlihat lebih memilih opsi ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitu pula di Indonesia, masyarakat mulai mengadopsi model pembayaran serupa, menciptakan perubahan signifikan dalam perilaku konsumen.
Pemakaian Pay Later Meningkat Drastis, Apakah Ini Tanda Bahaya?
Tren Penggunaan Pay Later di Singapura
Pada tahun 2024, laporan dari Worldpay menunjukkan bahwa mayoritas Gen Z di Singapura—sebesar 77 persen—telah menjadi pengguna setia layanan pay later. Angka ini mencerminkan peningkatan yang signifikan dibandingkan kelompok usia lainnya, seperti milenial (47 persen) dan Gen X (28 persen). Laporan tersebut juga menyoroti bahwa pay later telah menjadi pilihan utama bagi kalangan muda untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk transportasi dan pesan-antar makanan.Menurut riset Euromonitor International, pay later sangat diminati oleh mahasiswa dan fresh graduate dengan pendapatan tahunan di bawah S$30.000. Layanan ini menawarkan akses mudah ke kredit bagi generasi muda yang belum memiliki kartu kredit. Dengan demikian, pay later bukan hanya sekadar metode pembayaran, tetapi juga alat yang membantu mereka dalam manajemen keuangan.Implikasi Ekonomi dan Sosial
Tren ini tidak hanya mencerminkan pergeseran dalam pola konsumsi, tetapi juga memiliki implikasi ekonomi dan sosial yang mendalam. Dalam konteks ekonomi, pay later dapat meningkatkan daya beli konsumen dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, hal ini juga bisa berdampak pada tingkat utang rumah tangga jika tidak dikelola dengan bijaksana. Misalnya, peningkatan penggunaan pay later di kalangan mahasiswa dan fresh graduate menunjukkan adanya potensi risiko over-leverage.Dari sisi sosial, pay later dapat memperluas inklusi finansial dengan memberikan akses ke layanan keuangan bagi kelompok yang sebelumnya kurang terlayani. Namun, hal ini juga memunculkan tantangan baru dalam literasi keuangan. Kebutuhan akan pendidikan keuangan yang lebih baik menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa konsumen dapat menggunakan layanan ini secara bertanggung jawab.Kondisi Serupa di Indonesia
Indonesia juga mengalami fenomena serupa. Data dari industri pembiayaan menunjukkan bahwa piutang pembiayaan pay later melonjak hingga 103,4% pada September 2024, mencapai Rp8,24 triliun. Peningkatan ini mencerminkan minat yang besar dari masyarakat Indonesia terhadap layanan ini. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan menjelaskan bahwa pay later telah menjadi solusi praktis bagi konsumen yang ingin membeli barang tanpa harus membayar secara tunai. Hal ini terutama relevan bagi kelompok muda yang belum memiliki akses ke kartu kredit. Meskipun demikian, ada kekhawatiran bahwa peningkatan penggunaan pay later bisa memicu masalah utang jika tidak diatur dengan baik. Oleh karena itu, regulasi yang ketat dan edukasi keuangan menjadi kunci untuk memastikan bahwa layanan ini dapat digunakan secara aman dan efektif.