Gaya Hidup
Muncul Fenomena Makin Banyak Orang RI Kumpul Kebo, Ada Apa?
2024-10-05
Fenomena "Kumpul Kebo" di Indonesia: Antara Pergeseran Nilai dan Dampak Negatif
Fenomena "kumpul kebo" atau pasangan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah semakin marak di Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Tren ini kerap menjadi sorotan karena dinilai tidak sesuai dengan hukum dan agama di Tanah Air. Namun, ada beberapa alasan yang mendorong pasangan untuk memilih hidup bersama tanpa menikah, seperti beban finansial, prosedur perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial. Sayangnya, "kumpul kebo" juga membawa dampak negatif, terutama bagi perempuan dan anak-anak, baik dari segi ekonomi, kesehatan mental, hingga perkembangan anak.Menyorot Fenomena "Kumpul Kebo" di Indonesia
Pergeseran Pandangan Terkait Relasi dan Pernikahan
Salah satu penyebab utama maraknya fenomena "kumpul kebo" di Indonesia adalah adanya pergeseran pandangan di kalangan anak muda terkait relasi dan pernikahan. Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan sebagai hal normatif dengan aturan yang rumit. Sebagai gantinya, mereka memandang "kumpul kebo" sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta.Berbeda dengan negara-negara Barat, di Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, "kumpul kebo" tidak mendapatkan pengakuan legal. Jikapun terjadi, "kumpul kebo" hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan dinilai sebagai langkah awal menuju pernikahan.Fenomena "Kumpul Kebo" di Indonesia Timur
Studi pada 2021 berjudul "The Untold Story of Cohabitation" mengungkapkan bahwa "kumpul kebo" lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado memilih untuk "kumpul kebo" bersama pasangan, yaitu beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, dan penerimaan sosial.Berdasarkan data Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi. Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal.Dampak Negatif "Kumpul Kebo"
Yulinda menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat "kumpul kebo" adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.Selain itu, "kumpul kebo" juga dapat menurunkan kepuasan hidup dan menimbulkan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan serta ketidakpastian tentang masa depan. Data PK21 menunjukkan bahwa 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62 persen mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, serta emosional. Mereka dapat mengalami kebingungan identitas dan perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status "anak haram", bahkan dari anggota keluarga sendiri. Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.