Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Indonesia telah mengonfirmasi bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinaikkan menjadi 12% juga berlaku untuk layanan uang elektronik, termasuk e-money dan dompet digital. Namun, penekanan DJP adalah bahwa pajak ini dikenakan atas biaya jasa layanan penggunaan uang elektronik, bukan atas nilai transaksi atau saldo. Pengenaan PPN ini juga mencakup transaksi melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), yang merupakan bagian dari sistem pembayaran elektronik.
Di Jakarta, dalam sebuah pernyataan resmi yang disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, pada Senin (23/12/2024), dijelaskan bahwa kenaikan PPN hingga 12% berlaku untuk layanan uang elektronik seperti e-money dan e-wallet. Namun, penting untuk dicatat bahwa PPN ini hanya dikenakan atas biaya jasa layanan, bukan atas nilai top-up atau saldo. Misalnya, jika seseorang melakukan top-up sebesar Rp1.000.000 dengan biaya layanan Rp1.500, maka PPN 12% akan dikenakan atas biaya layanan tersebut, yaitu sebesar Rp180.
Begitu pula dengan transaksi menggunakan QRIS. Meskipun QRIS merupakan bagian dari sistem pembayaran elektronik, PPN tetap dikenakan atas biaya jasa layanan yang dibebankan kepada merchant, dikenal sebagai Merchant Discount Rate (MDR). Sebagai contoh, jika Pablo membeli TV seharga Rp5.000.000 melalui QRIS, total PPN yang terutang adalah Rp550.000, sehingga harga akhir menjadi Rp5.550.000. Ini menunjukkan bahwa metode pembayaran tidak mempengaruhi jumlah PPN yang harus dibayarkan.
Selain itu, DJP menekankan bahwa pengenaan PPN ini bukanlah objek pajak baru, melainkan perubahan tarif yang sudah ada. Ini bertujuan untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam sistem perpajakan Indonesia.
Dari perspektif seorang wartawan, informasi ini memberikan pandangan yang lebih jelas tentang bagaimana pemerintah berusaha memperbarui sistem perpajakan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi finansial. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memastikan bahwa semua bentuk transaksi elektronik tetap tunduk pada aturan pajak yang berlaku. Ini juga mendorong pelaku usaha dan konsumen untuk lebih memahami dampak fiskal dari transaksi mereka, sehingga dapat merencanakan keuangan dengan lebih baik.