Dekat akhir tahun 2024, sebanyak 20 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) telah ditutup. Jumlah ini melebihi rata-rata penutupan BPR setiap tahunnya yang biasanya berkisar antara 6 hingga 7 unit. Menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), peningkatan jumlah penutupan ini tidak menimbulkan goncangan atau keresahan pada masyarakat. Hal ini mencerminkan efektivitas sistem pengawasan perbankan di Indonesia. Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjelaskan bahwa penutupan ini justru menunjukkan stabilitas dan keamanan sistem keuangan nasional.
Dalam periode yang sama, berbagai BPR telah ditutup di berbagai wilayah Indonesia. Di antara yang paling mencolok adalah BPR Wijaya Kusuma, BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto, dan BPR Usaha Madani Karya Mulia. Selain itu, beberapa BPR lain seperti BPR Pasar Bhakti Sidoarjo, BPR Purworejo, dan BPR Aceh Utara juga mengalami nasib serupa. Total ada 20 BPR yang ditutup sepanjang tahun ini. Proses penutupan ini dilakukan dengan cepat dan efisien oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sehingga dana masyarakat tetap aman dan masalah dapat diselesaikan tanpa mengganggu kepercayaan publik terhadap institusi perbankan.
Dari perspektif pembaca, penutupan ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya pengawasan ketat dalam industri perbankan. Meskipun penutupan ini menandakan tantangan bagi beberapa BPR, hal ini juga membuktikan bahwa sistem pengawasan dan perlindungan deposan di Indonesia berfungsi dengan baik. Ini harus menjadi dasar bagi masyarakat untuk terus mempercayai lembaga keuangan yang diawasi secara ketat, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan.