Berita
Pelanggaran Gencatan Senjata: Dinamika Konflik Belanda dan Kaum Padri
2025-01-28
Berita sejarah tentang pelanggaran gencatan senjata oleh Belanda terhadap kaum Padri membuka lembaran baru dalam perlawanan rakyat Minangkabau. Artikel ini menggali dinamika konflik yang berlangsung pasca penandatanganan perdamaian di Masang, 26 Januari 1825, hingga kembali meletusnya ketegangan antara kedua pihak.

Belanda Terbukti Khianati Perjanjian, Kaum Padri Bangkit Kembali!

Kekuatan Militer Belanda yang Berkurang

Setelah menandatangani perjanjian perdamaian dengan kaum Padri, Belanda harus berhadapan dengan situasi militer yang sulit. Pada September 1826, pasukan Belanda di Minangkabau hanya menyisakan 677 orang, jauh berkurang dari jumlah awal. Dengan kekuatan yang terbatas ini, Belanda harus menjaga 17 pos strategis yang tersebar luas. Hal ini membuat mereka rentan terhadap serangan balasan dari kaum Padri.Situasi semakin memburuk ketika 5.000 prajurit Minangkabau dan 17 orang komandan dikirim ke Jawa untuk mendukung Perang Jawa melawan Diponegoro. Ini menunjukkan bahwa Belanda tidak lagi memiliki cukup sumber daya untuk mengendalikan wilayah Minangkabau secara efektif. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kolonial mulai goyah, dan ini menjadi titik balik bagi kaum Padri untuk memulai perlawanan kembali.

Perlawanan Rakyat Melawan Penindasan Belanda

Di tengah lemahnya kekuatan militer Belanda, rakyat Minangkabau yang mendukung kaum Padri semakin berani menentang pemerintah kolonial. Salah satu contoh nyata adalah ketika penduduk Kampung Mulik Padang menolak permintaan Belanda untuk membangun jalan. Ketika dua detasemen pasukan Belanda dikirim untuk memaksa mereka, rakyat Kampung Mulik Padang bergerak cepat dan melakukan perlawanan bersenjata, menyebabkan pasukan Belanda terpaksa mundur.Keberanian ini menyebar ke daerah lain, termasuk Saruaso di Tanah Datar, yang merupakan pusat pengikut kaum adat. Serangan terhadap daerah-daerah tersebut menunjukkan bahwa perlawanan bukan hanya berasal dari kaum Padri tetapi juga didukung oleh masyarakat luas. Ini menciptakan tekanan besar bagi Belanda, yang harus menghadapi tantangan baru setiap hari.

Kepala Adat Menjadi Pemicu Perlawanan

Kepala-kepala adat dari XIII Kota memainkan peran penting dalam mempengaruhi penduduk XX Kota untuk menentang Belanda. Mereka mendorong masyarakat untuk tidak membayar cukai dan pajak pasar yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Aksi ini menunjukkan bahwa otoritas tradisional masih kuat dan dapat digunakan sebagai alat perlawanan terhadap penjajah.Pengaruh kepala adat ini semakin memperkuat posisi kaum Padri, yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Gapuk, dan Tuanku Hitam. Para pemimpin ini berhasil memobilisasi dukungan luas dari masyarakat, menciptakan gerakan perlawanan yang solid. Perjanjian perdamaian tanggal 15 November 1825 akhirnya menjadi sekadar kertas kosong, karena Belanda sendiri telah melanggar gencatan senjata yang disepakati.

Hilangnya Kepercayaan terhadap Belanda

Pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh Belanda di Masang pada 26 Januari 1825 menjadi titik puncak hilangnya kepercayaan rakyat Minangkabau terhadap pemerintah kolonial. Tindakan ini menunjukkan bahwa Belanda tidak dapat dipercaya dan hanya berpihak pada kepentingan sendiri. Kaum Padri, yang selalu menuntut keadilan, merasa bahwa perjuangan mereka belum selesai.Dalam konteks ini, perlawanan kaum Padri bukan hanya sebagai bentuk protes terhadap tindakan militernya, tetapi juga sebagai upaya untuk mempertahankan identitas dan nilai-nilai adat istiadat yang dijunjung tinggi. Pengalaman ini membuktikan bahwa perjuangan melawan penjajahan tidak akan berhenti sampai ada solusi yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.
More Stories
see more