Penutupan atau pencabutan izin usaha (CIU) sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia akhir-akhir ini terutama disebabkan oleh masalah tata kelola yang tidak efektif dan praktik penipuan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menegaskan bahwa banyaknya penutupan BPR menunjukkan adanya permasalahan dalam pengelolaan internal, termasuk penegakan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas ilegal. Pada akhir tahun 2024, jumlah BPR yang mengalami kebangkrutan mencapai lebih dari dua puluh unit, melampaui rata-rata penutupan tahunan.
Ketidakoptimalan dalam tata kelola bank menjadi faktor utama yang menyebabkan banyak BPR mengalami penutupan. Lembaga Pengawas Perbankan menekankan bahwa kegagalan dalam menerapkan sistem pengelolaan yang baik sering kali berujung pada penyalahgunaan wewenang dan praktik penipuan. Ini menunjukkan bahwa masalah internal merupakan penyebab utama dari kejatuhan beberapa bank ini.
Dalam situasi seperti ini, OJK telah mengambil langkah-langkah tegas untuk memastikan bahwa peraturan dan hukum ditegakkan dengan ketat. Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku penipuan akan dilakukan secara serius. Ia juga menambahkan bahwa meskipun banyak BPR ditutup, hal ini justru menunjukkan bahwa sistem pengawasan sedang bekerja dengan baik. Proses penutupan ini bukanlah indikasi krisis, tetapi merupakan upaya untuk membersihkan industri perbankan dari praktek-praktek yang merugikan.
Para pelaku penipuan di BPR biasanya memanfaatkan celah-celah dalam sistem pengawasan dan manajemen. Direktur Eksekutif Hukum LPS Ary Zulfikar mengungkapkan bahwa ada tiga celah utama yang sering dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab. Salah satu contohnya adalah pengawasan berjenjang yang tidak berfungsi dengan baik, sehingga memungkinkan penyalahgunaan wewenang oleh pegawai maupun direksi.
Lebih lanjut, Ary menjelaskan bahwa teknologi informasi (IT) dapat memainkan peran penting dalam mencegah praktik penipuan. Sistem IT yang canggih dapat mendeteksi dan menolak permintaan kredit palsu secara otomatis, sehingga mengurangi risiko penyalahgunaan. Selain itu, kerjasama antara calon debitur dan direksi yang memiliki wewenang memberikan kredit tanpa proses evaluasi yang tepat juga sering terjadi. Hal ini kadang-kadang berujung pada pembayaran ilegal atau bahkan kredit fiktif yang sepenuhnya dibuat-buat. Praktik semacam ini biasanya dilakukan secara kolaboratif oleh berbagai pihak di dalam bank, mulai dari direksi hingga komite investasi.