Gaya Hidup
Perayaan Tahun Baru China di Indonesia: Sejarah dan Perubahan Istilah
2025-01-27

Perayaan Tahun Baru China di Indonesia, yang sering disebut Imlek, memiliki sejarah unik. Istilah ini hanya digunakan di Indonesia dan tidak dikenal di China. Selama era Orde Baru, pemerintah melarang segala bentuk ekspresi budaya China karena ketakutan terhadap ideologi komunis. Pelarangan ini mencakup penggunaan bahasa Mandarin, lagu-lagu, dan perayaan Tahun Baru China. Setelah jatuhnya Orde Baru, kebebasan untuk merayakan Imlek kembali dipulihkan, meski dampak diskriminasi masih berlanjut.

Evolusi Istilah Imlek di Indonesia

Penggunaan kata Imlek sebagai istilah untuk perayaan Tahun Baru China di Indonesia merupakan hasil dari kebijakan pemerintah pada masa lalu. Di China, perayaan tersebut lebih dikenal dengan nama Sin Cia. Namun, akibat pelarangan budaya China oleh pemerintah Orde Baru, istilah Imlek diciptakan untuk menggantikan nama aslinya. Kata Imlek berasal dari dialek Hokkien dan memiliki arti "kalender bulan".

Berdasarkan catatan sejarah, istilah Imlek lahir dari konteks politik yang kompleks. Pada tahun 1967, Instruksi Presiden No. 14 melarang semua aktivitas berbau China, termasuk penggunaan bahasa Mandarin dan perayaan Tahun Baru. Akibatnya, masyarakat Tionghoa harus merayakan Imlek secara diam-diam tanpa mendapatkan hari libur resmi. Dalam proses ini, istilah Imlek menjadi satu-satunya cara untuk menyebut perayaan tersebut di Indonesia. Meskipun demikian, setelah era Orde Baru berakhir, istilah ini tetap digunakan dan menjadi bagian dari identitas budaya Tionghoa di Indonesia.

Dampak Kebijakan Orde Baru Terhadap Budaya Tionghoa

Kebijakan Orde Baru memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Larangan budaya China tidak hanya membatasi ekspresi kebudayaan, tetapi juga menciptakan rasa takut dalam kalangan masyarakat. Mereka harus merayakan perayaan tradisional mereka secara sembunyi-sembunyi. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya kontrol pemerintah atas kehidupan masyarakat pada masa itu.

Setelah runtuhnya Orde Baru, kebijakan diskriminatif tersebut dicabut oleh pemerintah reformasi. Aturan baru memungkinkan masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan kembali kebudayaannya secara bebas, termasuk perayaan Imlek. Namun, dampak psikologis dan sosial dari diskriminasi masa lalu masih berlanjut hingga saat ini. Proses pemulihan dan integrasi budaya Tionghoa di Indonesia terus berlangsung, namun tantangan untuk menghapus stereotip dan prasangka masih ada. Upaya edukasi dan pemahaman antar budaya menjadi penting untuk membangun harmoni sosial yang lebih baik.

More Stories
see more