Budaya dan praktik sanitasi setelah buang air besar bervariasi luas di seluruh dunia, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti iklim, agama, dan inovasi teknologi. Di wilayah-wilayah beriklim tropis, penggunaan air menjadi pilihan utama dalam proses membersihkan diri. Ini tidak hanya sejalan dengan ajaran keagamaan tertentu tetapi juga memberikan kenyamanan lebih dalam cuaca panas.
Masyarakat di negara-negara beriklim dingin, sebaliknya, cenderung memilih metode yang tidak melibatkan air. Tisu toilet menjadi alternatif populer, terutama setelah ditemukan pada abad ke-16 di Barat. Inovasi ini berkembang pesat di abad berikutnya, terutama dengan penemuan tisu gulung pada tahun 1890. Faktor cuaca dan pola makan yang rendah serat juga mempengaruhi preferensi ini. Makanan rendah serat menghasilkan kotoran yang lebih sedikit dan mudah dibersihkan dengan tisu.
Penggunaan air untuk membersihkan diri telah terbukti secara ilmiah lebih efektif dalam menghilangkan bakteri dan kuman. Namun, budaya dan kebiasaan yang sudah ada sejak lama membuat perubahan sulit dilakukan. Meskipun demikian, penting bagi kita untuk memahami dan menghargai perbedaan budaya ini. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan saling menghormati, baik dalam praktik sanitasi maupun aspek lain kehidupan.