Gaya Hidup
Perempuan Semarang yang Menjadi Ibu Negara China: Kisah Oei Hui-Lan
2025-02-02
Berawal dari keluarga taipan gula di Semarang, Oei Hui-lan menapaki perjalanan hidup luar biasa hingga menjadi ibu negara Republik China. Kisahnya menggambarkan transisi dari kehidupan mewah di Indonesia menuju panggung politik internasional.

TRANSFORMASI HIDUP YANG MENGUBAH SEJARAH

Kehidupan Mewah di Semarang

Sebagai putri seorang pengusaha gula terkemuka, Oei Hui-lan tumbuh dalam kemewahan yang sulit dibayangkan. Ayahnya, Oei Tiong Ham, dikenal sebagai "Raja Gula Dunia" dengan harta mencapai 44 triliun rupiah. Rumah keluarganya seluas 80 hektar dilengkapi vila pribadi dan paviliun. Dia tidak pernah kekurangan apa pun; setiap permintaannya dipenuhi tanpa ragu. Ulang tahunnya dirayakan dengan pesta mewah, dekorasi megah, tamu-tamu terpilih, dan hiburan ternama. Kehidupan ini membentuk jaringan pertemanan luas bagi Hui-lan, mempersiapkannya untuk perjalanan mendatang.Ayahnya sangat berkomitmen pada kenyamanan putrinya. "Berapa pun biayanya, tidak masalah baginya," kenang Hui-lan. Dia menjelajahi dunia dengan mudah, bertemu orang-orang penting, termasuk anggota kerajaan Inggris dan politisi China yang akan mengubah nasibnya. Kemewahan ini bukan hanya tentang materi, tetapi juga membentuk karakter dan perspektif globalnya.

Bertemu Wellington Koo: Pintu Menuju Panggung Internasional

Pada awal 1920-an, Hui-lan tinggal di London bersama ibunya setelah ayahnya menikah lagi. Di sana, dia bertemu Wellington Koo, diplomat senior China. Koo adalah figur penting dalam diplomasi China, salah satu pembentuk Liga Bangsa-Bangsa. Hubungan mereka berkembang pesat, dan pada 1921, mereka menikah di Brussel. Ini menandai awal babak baru dalam hidup Hui-lan, yang kemudian menjadi istri pejabat tinggi China.Setahun setelah pernikahan, Koo naik jabatan menjadi Menteri Luar Negeri dan Keuangan China. Pada 1926, setelah kematian Presiden Sun Yat Sen, Koo menjadi pelaksana tugas Presiden Republik China. Dengan demikian, Hui-lan secara resmi menjadi ibu negara. Perannya melampaui gelar; dia turut mendampingi suaminya dalam misi diplomatis global, memperkuat eksistensi Republik China di kancah internasional. Kehidupan ini membawa pasangan itu ke berbagai belahan dunia, mulai dari Shanghai hingga Paris.

Masa Depan Setelah Politik

Setelah berakhirnya masa jabatan suaminya, Hui-lan dan Koo memilih tinggal di berbagai kota besar. Namun, hubungan mereka berujung perceraian pada 1958. Hui-lan kemudian menetap di New York, fokus membesarkan ketiga anaknya. Meski jauh dari Tanah Air, dia tidak melupakan akarnya. Pada 1986, dia mencoba berbisnis di Indonesia, meski usaha tersebut tidak berhasil.Kehidupan Hui-lan mencerminkan dinamika geopolitik abad ke-20. Dia melewati era kolonialisme, revolusi, dan globalisasi. Kisahnya menjadi simbol perpaduan antara warisan lokal dan aspirasi global. Meski akhirnya meninggal di New York pada 1992, jejaknya tetap relevan, mengingatkan kita pada pentingnya perspektif global dalam konteks lokal.
More Stories
see more