Dalam catatan sejarah, metode penggorengan makanan pertama kali ditemukan di Mesir kuno sekitar 4.500 tahun silam. Teknik ini kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia termasuk Eropa dan Tiongkok. Di kedua wilayah tersebut, metode penggorengan berkembang pesat dan menciptakan variasi rasa serta tekstur yang berbeda-beda. Orang-orang dari kedua daerah ini sering melakukan migrasi ke berbagai penjuru dunia, membawa serta budaya dan cara memasak mereka.
Ketika orang Eropa dan Tiongkok tiba di tanah air pada abad ke-16, mereka membawa serta teknik penggorengan yang kemudian diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini semakin mendalam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Beberapa faktor penting mempengaruhi penyebaran teknik penggorengan di Indonesia. Salah satu faktor utama adalah kemunculan minyak kelapa sebagai bahan baku penggorengan pada abad ke-19. Minyak kelapa membuat proses penggorengan lebih mudah dan efisien. Kemudian, masuknya mentega dari bangsa Eropa, khususnya Belanda, juga memperkaya variasi teknik penggorengan di tanah air.
Mentega menjadi andalan untuk menggoreng di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Pada masa itu, merek ternama seperti Blue Band mulai muncul. Variasi makanan hasil penggorengan pun semakin meluas, menciptakan aneka gorengan yang kita kenal hari ini. Namun, pada awalnya, akses terhadap mentega dan minyak kelapa masih terbatas karena harganya yang mahal.
Memasuki era Orde Baru, kebijakan Presiden Soeharto membuka jalan bagi pembangunan industri sawit. Hal ini menyebabkan minyak goreng menjadi lebih murah dan mudah didapatkan oleh masyarakat luas. Dua pemain besar di industri minyak goreng, yaitu Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dan Eka Tjipta Widjaja, memproduksi merek-merek populer seperti Filma, Kunci Mas, dan Bimoli.
Selain itu, hadirnya tepung terigu merek Bogasari pada 1970-an juga mempermudah masyarakat dalam mengolah makanan. Tepung menjadi lebih terjangkau dan mendorong konsumsi makanan olahan tepung, termasuk gorengan. Kedua bahan ini menjadi kunci penting dalam bisnis gorengan yang berkembang pesat selama kepemimpinan Soeharto.
Berikutnya, perubahan menu konsumsi masyarakat Indonesia sejak 1990-an sangat signifikan. Gorengan menjadi makanan yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari pagi hingga malam, masyarakat biasa mengonsumsi gorengan. Warung-warung pinggir jalan menjual aneka gorengan, dan momen tertentu seperti buka puasa di bulan Ramadan semakin memperkuat kebiasaan ini.
Seiring berjalannya waktu, gorengan tidak hanya menjadi makanan ringan tetapi juga simbol budaya yang kuat. Dengan dukungan pemerintah dan inovasi dari para pelaku industri, gorengan terus berkembang dan menjadi bagian integral dari hidup masyarakat Indonesia.