Low Tuck Kwong adalah seorang pengusaha Indonesia yang juga pemilik PT Bayan Resources Tbk (BYAN). BYAN merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di sektor tambang batu bara dan merupakan emiten batu bara dengan kapitalisasi terbesar di bursa domestik. Forbes mencatat bahwa Low saat ini memiliki harta US$27,9 miliar atau setara Rp 445,03 triliun. Dia tercatat sebagai orang terkaya ke-3 di Indonesia di bawah keluarga Hartono dan Prajogo Pangestu. Usaha tambangnya telah membawa keberuntungan dan kekayaan bagi Low Tuck Kwong.
Penghasilan dan keberhasilan Low Tuck Kwong di sektor batu bara tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan bagi industri tambang di Indonesia. Perusahaan BYAN menjadi salah satu tokoh di sektor ini dan memberikan inspirasi bagi para pengusaha lainnya.
Keluarga yang dikepalai oleh mendiang Eka Tjipta Widjaja menguasai Sinar Mas Group, salah satu konglomerat masa Orde Baru. Grup Sinar Mas memiliki PT Dian Swastika Sentosa Tbk. (DSSA) yang bergerak di bidang energi dan infrastruktur. Anak perusahaan DSSA, seperti PT Golden Energy Mines Tbk. (GEMS) dan Golden Energy and Resources Ltd. (GEAR), menjadi penyumbang batu bara. GEAR tidak hanya memiliki tambang di Indonesia, tetapi juga mengakuisisi aset tambang di Australia, yaitu Stanmore Coal. Putra dari Eka, Franky Oesman Widjaja menjadi Komisaris Utama DSSA.
Kekayaan keluarga Widjaja mencapai US$10,8 miliar atau setara dengan Rp 168,3 triliun. Perusahaan-perusahaan di bawah kelompok ini telah berhasil mengembangkan bisnis di berbagai bidang dan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Usaha tambang batu bara menjadi salah satu lapisan penting dalam kerangka bisnis keluarga Widjaja.
Kakak Menteri BUMN Erick Thohir bersama Theodore Permadi Rachmat alias Teddy Rachmat dan Edwin Soeryadjaya mendirikan emiten raksasa PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO). Lokasi penambangan Adaro tersebar di Pulau Sumatra dan Kalimantan, selain itu terdapat juga situs penambangan berlokasi di Australia yang baru diakuisisi tahun 2018 lalu. Beberapa perusahaan pertambangan di bawah Adaro Group antara lain PT Mustika Indah Permai (MIP), PT Bukit Enim Energi (BEE), Adaro Metcoal Companies (AMC), PT Bhakti Energi Persada (BEP) dan banyak lagi.
Akhir 2022, Forbes menempatkan pria yang akrab disapa Boy ini pada urutan ke-15 pada daftar Indonesia’s 50 Richest dengan nilai kekayaan sebesar US$ 3,45 miliar atau setara dengan Rp 54,01 triliun. Kemudian pada 2023, harta kekayaannya tercatat sebesar US$ 3,3 miliar atau Rp 51,29 triliun dan menjadikannya sebagai orang terkaya ke-17. Usaha Adaro Energy telah memberikan dampak besar bagi ekonomi Indonesia dan telah menjadi salah satu nama penting di sektor tambang.
Kiki Barki merupakan pendiri emiten pertambangan batubara, PT Harum Energi Tbk. (HRUM) pada tahun 1995 dan perusahaannya listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) di tahun 2010. Kiki Barki menguasai 79,79% saham HRUM, yang berdiri sejak 1995. Selain Harum Energy, Kiki juga memiliki tambang batubara milik swasta, Tanito Harum. Saat ini, putra sulungnya, Lawrence Barki, menjalankan Harum sebagai presiden komisaris sementara putra bungsunya, Steven Scott Barki, menjadi komisaris.
Pada 2022, Forbes mencatat nilai kekayaan bersih Kiki sebesar US$ 1,9 miliar atau setara dengan Rp 29,6 triliun. Tahun lalu US$ 1,41 miliar atau Rp 21,92 triliun dan menempatkan dirinya sebagai orang terkaya ke-33. Usaha Kiki Barki dalam sektor tambang batubara telah berdiri lama dan memberikan kontribusi penting bagi industri tersebut.
Tjia Han Pun alias Edwin Soeryadjaya terlahir pada 17 Juli 1949 setelah kedua orangtuanya kembali dari Negeri Belanda. Ketika kelahirannya, perang Indonesia-Belanda perlahan mereda. Ketika itu, ayahnya William Soeryadjaya masih merintis bisnisnya, membangun Astra. Sekitar 1997-1998 Edwin bersama Sandiaga Uno mendirikan perusahaan keuangan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. (SRTG). Dimana dia menjadi pemimpin tertinggi perusahaan itu setelah Indonesia dilanda krisis moneter. Saratoga termasuk perusahaan keuangan yang kemudian berkembang.
Setelah tahun 2000 pertambangan batu bara menggeliat di Indonesia. Edwin Soeryadjaya pun belakangan masuk ke dalam bisnis ini. Seperti sepupunya yang pernah aktif di Astra juga, Teddy Rachmat yang terlibat dalam pendirian perusahaan batubara Pama Persada. Pada 2022, Forbes mencatat kekayaan Edwin senilai US$ 1,8 miliar atau setara dengan Rp 28,05 triliun. Kemudian pada 2023, Edwin tercatat sebagai orang terkaya ke-39 dengan harta US$ 1,24 miliar atau setara Rp 19,27 triliun. Usaha Edwin Soeryadjaya dalam sektor tambang telah berkembang dan memberikan dampak penting bagi perekonomian Indonesia.