Pasar
Bangkrutnya Raksasa Tekstil Sritex: Kisah Jatuhnya Sebuah Imperium
2024-10-29
Dunia industri tekstil Indonesia kembali dihebohkan dengan kabar mengejutkan. PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL), yang dikenal sebagai "raja tekstil" di negeri ini, resmi dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Niaga Semarang. Perjalanan panjang Sritex, yang sempat menjadi raksasa di industri ini, kini berakhir dengan tragis. Apa yang menyebabkan kejatuhan perusahaan yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia ini?
Mengungkap Penyebab Kebangkrutan Sritex: Utang Menumpuk dan Krisis yang Tak Terbendung
Utang Bengkak, Liabilitas Mencapai Rp25 Triliun
Salah satu faktor utama yang menyebabkan Sritex terpuruk adalah utang yang terus membengkak. Berdasarkan data, total liabilitas perusahaan ini mencapai US$1,6 miliar atau sekitar Rp25,01 triliun pada semester I-2024. Utang bank menjadi kontributor terbesar, dengan nilai mencapai US$809,99 juta atau sekitar Rp12,66 triliun.Dari 28 bank yang memiliki tagihan kredit jangka panjang atas Sritex, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) menjadi satu-satunya kreditur pelat merah, dengan kredit sebesar US$23,807,151 atau sekitar Rp374.809.072.126. Besarnya utang ini menjadi beban yang sulit ditanggung oleh Sritex, sehingga akhirnya menyebabkan kebangkrutan.Krisis Multidimensi Menghantam Sritex
Selain utang yang membengkak, Sritex juga dihadapkan pada berbagai krisis yang saling terkait. Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan, disrupsi rantai pasokan global, serta persaingan ketat di industri tekstil menjadi faktor-faktor yang turut menyumbang pada kejatuhan perusahaan ini.Pandemi COVID-19 telah menghantam industri tekstil secara keseluruhan, termasuk Sritex. Pembatasan sosial dan penurunan daya beli konsumen menyebabkan permintaan produk tekstil menurun drastis. Hal ini berdampak langsung pada kinerja Sritex, yang terpaksa harus merumahkan sebagian karyawannya.Disrupsi rantai pasokan global juga menjadi tantangan besar bagi Sritex. Keterbatasan bahan baku, gangguan logistik, dan fluktuasi harga komoditas menyulitkan perusahaan untuk mempertahankan efisiensi operasional. Akibatnya, biaya produksi meningkat, sementara pendapatan terus menurun.Selain itu, persaingan ketat di industri tekstil juga menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan. Munculnya pesaing-pesaing baru, baik dari dalam maupun luar negeri, semakin memperketat persaingan. Sritex, yang dulunya menjadi pemain dominan, kini harus berjuang keras untuk mempertahankan pangsa pasarnya.Upaya Restrukturisasi dan Langkah Selanjutnya
Dalam upaya menyelamatkan perusahaan, Sritex telah mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Semarang. Namun, langkah ini belum membuahkan hasil yang diharapkan, dan akhirnya Sritex dinyatakan bangkrut oleh pengadilan.Sebagai salah satu kreditur utama, BNI menyatakan akan terus memantau perkembangan kasus ini dan berkoordinasi dengan pemerintah, khususnya Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, untuk membahas langkah-langkah selanjutnya. BNI juga menegaskan bahwa mereka telah melakukan pencadangan yang memadai untuk menadahi risiko kredit tersebut.Meskipun Sritex telah dinyatakan bangkrut, kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi dunia industri tekstil Indonesia. Perusahaan-perusahaan harus waspada terhadap ancaman-ancaman yang dapat muncul, baik dari dalam maupun luar, dan senantiasa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Hanya dengan cara itulah, industri tekstil Indonesia dapat terus bertahan dan berkembang di tengah persaingan global yang semakin ketat.