Pasar
Sritex, Raksasa Tekstil RI yang Tumbang: Kisah Bangkrutnya Sang "Raja Tekstil"
2024-10-29
PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex, perusahaan tekstil raksasa Indonesia, telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Sritex tercatat memiliki utang yang mencapai US$1,6 miliar atau sekitar Rp25,01 triliun, dengan utang bank menjadi salah satu pos terbesar yang menyumbang liabilitas jangka panjang perusahaan. Kini, para kreditur bank Sritex sedang menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi risiko yang muncul akibat kepailitan ini.

Bangkrutnya Sang "Raja Tekstil" Indonesia

Utang Menggunung, Kepailitan Tak Terelakkan

Sritex, yang pernah disebut-sebut sebagai "raja tekstil" Indonesia, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Perusahaan ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, dengan total liabilitas mencapai US$1,6 miliar atau sekitar Rp25,01 triliun per semester I-2024. Utang bank menjadi salah satu pos terbesar yang menyumbang liabilitas jangka panjang SRIL, dengan nilai sebesar US$809,99 juta atau sekitar Rp12,66 triliun. Setidaknya ada 28 bank yang menjadi kreditur bagi perusahaan ini.Kepailitan Sritex ini tentu menjadi pukulan berat bagi industri tekstil Indonesia. Perusahaan ini merupakan salah satu pemain besar di sektor ini, dengan reputasi yang telah dibangun selama puluhan tahun. Namun, utang yang menggunung dan tidak mampu dibayar akhirnya menjadi penyebab utama dari kebangkrutannya.

Langkah Antisipasi Kreditur Bank

Menanggapi kepailitan Sritex, para kreditur bank telah menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi risiko yang muncul. BCA, sebagai kreditur terbesar Sritex dengan nilai kredit sebesar US$71,30 juta atau sekitar Rp1,11 triliun, menyatakan akan berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk dengan pihak kurator yang ditunjuk oleh pengadilan, untuk mencapai solusi terbaik bagi debitur dan seluruh kreditur.Bank Permata, dengan utang Sritex sebesar US$37,9 juta atau Rp598,04 miliar, juga menyatakan akan menghormati dan mengikuti perkembangan proses hukum yang berjalan serta akan melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang ada.Sementara itu, BNI, satu-satunya kreditur pelat merah untuk Sritex dengan kredit sebesar US$23,807,151 atau sekitar Rp374,80 miliar, menyatakan akan terus memantau perkembangannya dan berkoordinasi dengan pemerintah, khususnya Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, untuk membahas langkah-langkah selanjutnya. Bank Danamon, dengan nilai pinjaman sebesar US$4,51 juta atau sekitar Rp71,11 miliar, juga menyatakan akan mematuhi semua proses hukum yang berlaku dan tetap terbuka untuk berkomunikasi dengan Sritex serta pihak-pihak terkait lainnya dalam menyelesaikan masalah utang ini.

Pencadangan dan Kualitas Kredit Bank

Selain langkah-langkah antisipasi, para kreditur bank juga memaparkan kondisi pencadangan dan kualitas kredit mereka. BCA menyebut rasio kredit dalam risiko atau loan at risk (LAR) mencapai 6,1% pada sembilan bulan pertama tahun 2024, membaik dari posisi setahun lalu di angka 7,9%. Sementara rasio kredit bermasalah (NPL) berada di tingkat yang terjaga sebesar 2,1%. Pencadangan LAR dan NPL juga ada pada tingkat yang memadai, masing-masing 73,5% dan 193,9%.BNI juga menyatakan bahwa rasio kredit dalam risiko atau loan at risk (LAR) telah turun dari 14,4% menjadi 11,8% periode sembilan bulan hingga September 2024 secara tahunan (yoy). Begitupun rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang turun menjadi 2% dari 2,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bank Danamon pun memastikan bahwa pencadangan di bank milik MUFG asal Jepang itu memadai, dengan rasio pencadangan kredit dalam risiko atau loan at risk coverage di posisi 48%, dan pencadangan rasio kredit bermasalah atau non performing loan atau NPL coverage di 272%.Dengan kondisi pencadangan dan kualitas kredit yang terjaga, para kreditur bank berharap dapat meminimalisir dampak negatif dari kepailitan Sritex terhadap kinerja keuangan mereka. Namun, tetap saja, kebangkrutan raksasa tekstil ini akan menjadi pukulan berat bagi industri dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
more stories
See more