Persoalan utama yang mengancam kemakmuran ekonomi di kawasan ASEAN, selain dampak perubahan iklim, adalah penurunan signifikan dalam angka kelahiran dan kesuburan. Situasi ini dapat mengganggu prospek pertumbuhan ekonomi, terutama karena semakin sedikitnya bayi yang lahir di wilayah Asia Tenggara. Gaya hidup modern dan urbanisasi menjadi faktor utama di balik tren ini, yang berpotensi membahayakan produktivitas ekonomi di masa depan.
Menyadari tantangan demografi ini, pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara harus berusaha keras untuk mengatasi transisi menuju populasi yang lebih tua. Meskipun ASEAN merupakan kawasan dengan populasi sekitar 670 juta jiwa, para ahli menekankan pentingnya persiapan menghadapi penurunan angka kelahiran. Menurut laporan 'ASEAN Key Figures 2023', kawasan ini menduduki posisi ketiga sebagai wilayah paling padat penduduknya di dunia, setelah India dan China. Para analis menyebutkan bahwa negara-negara seperti Singapura, Thailand, Vietnam, dan Malaysia sudah mulai merasakan dampak dari perubahan demografi ini.
Meski penurunan jumlah penduduk bisa memberikan manfaat tertentu, seperti peningkatan kualitas hidup dan pengurangan tekanan terhadap sumber daya alam, tantangan yang lebih besar tetap ada. Diperlukan solusi inovatif untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial tetap berjalan lancar. Upaya ini tidak hanya akan memperkuat ekonomi regional, tetapi juga membuka peluang baru bagi generasi mendatang. Dengan persiapan yang matang, ASEAN dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk menciptakan masyarakat yang lebih maju dan berkelanjutan.