Berita
Kritik Terhadap Perluasan Wewenang DPR dalam Evaluasi Pejabat Negara
2025-02-05

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memperluas wewenangnya untuk mengevaluasi pejabat negara yang telah lulus uji kelayakan dan kepatutan mendapat banyak kritikan. Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyatakan bahwa revisi Peraturan DPR tentang Tata Tertib adalah intervensi yang tidak tepat terhadap prinsip keseimbangan kekuasaan di Indonesia. Dia menekankan bahwa norma tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan dapat mengancam independensi lembaga-lembaga negara.

Penguatan Wewenang DPR: Ancaman terhadap Kemerdekaan Lembaga Negara

Perluasan wewenang DPR dalam evaluasi pejabat negara telah menciptakan kontroversi. Revisi peraturan internal DPR dilihat sebagai upaya yang keliru untuk mengawasi calon-calon penyelenggara negara seperti hakim Mahkamah Konstitusi (MK), hakim Agung, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan komisioner lembaga-lembaga negara lainnya. Menurut Hendardi, hal ini bisa berujung pada pencopotan pejabat jika hasil evaluasi merekomendasikan demikian. Ini menunjukkan potensi intervensi yang berlebihan dari DPR.

Dalam praktiknya, revisi ini dinilai bertentangan dengan prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Frase "hasil evaluasi bersifat mengikat" pada Pasal 228A Ayat (2) Peraturan DPR dapat digunakan sebagai alat untuk mencopot pejabat, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan. Hendardi menjelaskan bahwa substansi norma ini keliru secara formal dan substantif. Peraturan internal seharusnya hanya mengatur urusan internal dan pihak-pihak yang berhubungan dengan lembaga tersebut. Namun, norma ini justru melampaui batas hukum yang ada dan dapat melemahkan independensi lembaga-lembaga negara.

Bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat dan Independensi Lembaga

Norma baru ini juga dikritik karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang tertuang dalam UUD 1945. Hendardi menekankan bahwa frase "menurut Undang-Undang Dasar" ditujukan untuk menjamin kemerdekaan dan independensi lembaga-lembaga yang diatur oleh UUD. Kontrol dan keseimbangan antar cabang kekuasaan harus tetap terjaga tanpa adanya pengaturan lain yang melemahkan independensi lembaga-lembaga negara.

Hendardi juga mengingatkan bahwa norma Pasal 228A melampaui puluhan undang-undang sektoral lainnya yang memberikan jaminan independensi pada Mahkamah Agung (MA), MK, Bank Indonesia (BI), KPK, dan lembaga-lembaga lainnya. Ia menambahkan bahwa DPR gagal memahami makna fungsi pengawasan yang sebenarnya. Pengawasan yang dimaksud dalam Pasal 20A (1) UUD 1945 seharusnya tidak mengganggu independensi lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, perluasan wewenang DPR ini dapat dianggap sebagai langkah yang tidak tepat dan berpotensi merusak sistem keseimbangan kekuasaan yang ada.

More Stories
see more