Dalam sejarah kolonial, Indonesia, Malaysia, dan Singapura memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun ketiganya pernah menjadi jajahan, pengaruh budaya penjajah terhadap masyarakat setempat sangatlah kontras. Sementara penduduk Malaysia dan Singapura dapat berbahasa Inggris dengan fasih, hampir seluruh masyarakat Indonesia tidak menguasai bahasa Belanda. Fenomena ini dipengaruhi oleh pola kolonialisme yang diterapkan oleh Inggris dan Belanda, yang membentuk dinamika budaya dan linguistik yang unik di setiap negara.
Pola kolonial Belanda di Indonesia berbeda dari pendekatan Inggris di wilayah Melayu. Para peneliti menunjukkan bahwa ada dua alasan utama mengapa masyarakat Indonesia tidak menguasai bahasa Belanda. Pertama, struktur sosial kolonial Belanda mempertahankan hierarki tegas antara orang Eropa dan penduduk pribumi. Ini menciptakan batas yang jelas dalam interaksi budaya. Kedua, fokus ekonomi Belanda pada eksploitasi sumber daya membuat mereka enggan menyebarkan kebudayaan Barat secara luas. Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mempertahankan dominasi ekonomi.
Kebijakan kolonial Belanda juga mencerminkan sikap hati-hati terhadap budaya lokal. Salah satu tokoh penting pemerintah kolonial, Snouck Hurgronje, menekankan pentingnya membiarkan perkembangan budaya lokal tanpa campur tangan berlebihan. Sikap ini bertujuan untuk menjaga keharmonisan sosial dan meminimalisir konflik budaya. Akibatnya, bahasa dan budaya lokal tetap berkembang dengan sendirinya, tanpa adanya upaya sistematis untuk menggantikan atau mengubahnya.
Berbeda dengan Inggris yang lebih agresif dalam menyebarkan bahasa dan budaya mereka, Belanda memilih pendekatan yang lebih konservatif. Hasilnya, pengaruh bahasa Belanda di Indonesia terbatas pada beberapa kata serapan, seperti "gorden" dan "bioskop". Hal ini memungkinkan bahasa Melayu dan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang secara organik, menjadi bahasa nasional yang digunakan hingga saat ini.
Sikap Belanda yang tidak memaksakan budaya mereka secara langsung memberikan ruang bagi masyarakat Indonesia untuk mempertahankan identitas budaya dan linguistik mereka. Oleh karena itu, meski telah berlalu ratusan tahun sejak masa penjajahan, pengaruh bahasa Belanda di Indonesia tetap terbatas dan tidak mendominasi seperti halnya bahasa Inggris di Malaysia dan Singapura.