Pemimpin tertinggi Ford, Jim Farley, mengekspresikan pandangannya terhadap kebijakan tarif impor yang berlaku saat ini. Dia mengkritisi dampak negatif dari kebijakan tersebut terhadap industri otomotif Amerika. Dalam laporan laba kuartal keempat perusahaan, Farley menyoroti ketidakadilan yang dialami oleh Ford dibandingkan dengan pesaing internasionalnya. Dia mempertanyakan efektivitas penerapan tarif selektif dan menyarankan pendekatan yang lebih luas untuk menciptakan persaingan yang adil.
Pada hari-hari musim dingin di New York, eksekutif utama Ford, Jim Farley, menyampaikan pandangan mendalam mengenai tantangan yang dihadapi industri otomotif akibat kebijakan tarif impor. Saat membahas hasil kinerja perusahaan pada kuartal terakhir, Farley menunjukkan bahwa beberapa merek asing dapat mengimpor kendaraan dalam jumlah besar tanpa dikenakan bea masuk tambahan. Ini menciptakan ketidakseimbangan kompetitif yang merugikan produsen lokal seperti Ford.
Farley menjelaskan bahwa Ford memproduksi sejumlah model populer di luar negeri, termasuk di Meksiko dan Kanada, sebelum mengirimkannya ke pasar Amerika Serikat. Namun, perusahaan harus membayar tarif hingga 25% untuk produk dari kedua negara tersebut, serta 10% untuk impor dari Tiongkok. Situasi ini membuat Ford berada dalam posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pesaingnya yang tidak terkena tarif serupa.
Data menunjukkan bahwa hampir setengah dari semua kendaraan baru yang terjual di AS diproduksi di luar negeri. Meksiko menjadi sumber impor terbesar, disusul Korea Selatan dan Jepang. Kendaraan dari negara-negara ini umumnya dikenakan tarif yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk Ford yang diproduksi di luar negeri.
Dengan demikian, Farley menyerukan perlunya kebijakan tarif yang lebih komprehensif untuk memastikan persaingan yang adil di pasar otomotif Amerika.
Dari perspektif pembaca, pandangan Farley memberikan wawasan penting tentang kompleksitas isu perdagangan internasional dan dampaknya terhadap industri otomotif domestik. Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan yang lebih matang dalam merumuskan kebijakan ekonomi, terutama ketika melibatkan sektor strategis seperti manufaktur otomotif. Perdebatan ini juga menggarisbawahi perlunya dialog antara pemerintah dan industri untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.