Pasar
Industri Tekstil Indonesia: Menghadapi Badai Perubahan dan Mencari Jalan Pemulihan
2024-11-05
Industri tekstil Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks. Mulai dari kolapsnya raksasa tekstil Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), hingga gelombang penutupan pabrik dan PHK massal yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Berbagai faktor, dari pandemi COVID-19 hingga konflik geopolitik, telah memberikan pukulan telak bagi industri ini.

Industri Tekstil Indonesia Terancam Kolaps: Dari Penutupan Pabrik hingga Gelombang PHK Massal

Industri Tekstil Terpuruk: Dari Pandemi hingga Konflik Geopolitik

Industri tekstil Indonesia telah mengalami kontraksi sejak pandemi COVID-19 merebak pada tahun 2020-2021. Namun, sektor ini sempat mengalami pemulihan pada kuartal pertama dan kedua 2022, dengan pertumbuhan mencapai 12%. Sayangnya, keadaan kembali memburuk pada kuartal ketiga 2022, ketika isu perang Ukraina-Rusia dan penerapan kebijakan zero COVID-19 Policy oleh China menyebabkan gangguan pada rantai pasokan global. Akibatnya, PHK terjadi secara massal, dengan perusahaan-perusahaan tekstil memangkas jumlah karyawan mereka setiap bulannya.

Gelombang Penutupan Pabrik dan PHK Massal

Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, dalam dua tahun terakhir, sekitar 30 perusahaan tekstil telah berhenti beroperasi, menelan korban PHK sebanyak 150.000 orang. Pada tahun 2024, tren PHK mulai bergeser, dengan para pengusaha tekstil kini menutup pabrik karena tidak lagi mampu bertahan. Perusahaan-perusahaan kelas menengah menjadi yang paling terdampak, sementara Industri Kecil dan Menengah (IKM) sudah banyak yang berhenti beroperasi.

Kasus Sritex: Raksasa Tekstil Asia Tenggara yang Tumbang

Salah satu contoh nyata dari krisis industri tekstil Indonesia adalah kasus Sritex, yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang pada Oktober 2023. Meskipun Sritex dianggap sebagai salah satu perusahaan yang dapat bertahan lama karena memiliki arus kas yang lebih kuat dibandingkan perusahaan kelas menengah dan kecil, namun dorongan permodalan ini tidak diikuti dengan perbaikan pendapatan.Pendapatan Sritex dari ekspor turun menjadi US$ 158,66 juta pada 2023 dari semula US$ 257,85 juta. Sementara itu, penjualan domestik juga turun menjadi US$ 166,42 juta dari semula US$ 266,71 juta. Seiring dengan itu, beban utangnya pun kian menggunung, dengan liabilitas mencapai US$1,6 miliar atau sekitar Rp25,01 triliun, sementara ekuitasnya telah mencatatkan defisiensi modal sebesar -US$980,56 juta.

Masa Depan Industri Tekstil Indonesia: Tantangan dan Harapan

Industri tekstil Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan besar, mulai dari dampak pandemi COVID-19, konflik geopolitik, hingga masalah internal seperti utang yang membengkak dan penurunan pendapatan. Namun, dengan dukungan pemerintah dan inovasi dari para pelaku industri, diharapkan sektor ini dapat kembali bangkit dan menjadi salah satu pilar penting bagi perekonomian Indonesia.
more stories
See more