Pada Oktober 2024, PT Sri Rezeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang dan dipertegas oleh Mahkamah Agung. Penyebab utama kebangkrutan ini adalah kelalaian manajemen dalam mengelola risiko keuangan, sehingga utang terus bertambah hingga mencapai US$1,6 miliar. Kebangkrutan ini mempengaruhi 10.000 pekerja yang merencanakan unjuk rasa ke Jakarta pada Januari 2025 untuk meminta pertimbangan atas nasib mereka. Meski kini sedang mengalami kesulitan, Sritex pernah menjadi ikon industri tekstil Indonesia berkat pendirinya, Haji Muhammad Lukminto, yang memulai bisnisnya dari Solo pada tahun 1966.
Kebangkrutan Sritex telah menimbulkan dampak signifikan bagi ribuan pekerja dan industri tekstil secara luas. Pernyataan pailit ini tidak hanya mempengaruhi ekonomi perusahaan tetapi juga menyebabkan ketidakpastian bagi sekitar 10.000 buruh yang bekerja di perusahaan tersebut. Para pekerja berencana melakukan unjuk rasa di Jakarta untuk mendapatkan perhatian lebih lanjut dari pemerintah dan Mahkamah Agung. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang, dengan harapan bahwa aksi ini dapat membawa perubahan positif bagi masa depan mereka.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan, penyebab utama kebangkrutan Sritex adalah kelalaian manajemen dalam mitigasi risiko, yang menyebabkan utang terus meningkat. Total liabilitas perusahaan mencapai US$1,6 miliar pada September 2022. Situasi ini menunjukkan pentingnya pengelolaan keuangan yang baik dalam menjaga stabilitas perusahaan. Selain itu, aksi unjuk rasa ini juga mencerminkan kekhawatiran para pekerja tentang nasib mereka setelah keputusan pailit. Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group, Slamet Kaswanto, menekankan pentingnya pertimbangan nasib pekerja dalam putusan kebangkrutan ini.
Sritex memiliki sejarah panjang dan perjalanan yang menarik sebelum jatuh ke jurang kebangkrutan. Perusahaan ini didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto, seorang peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Dia memulai karirnya sebagai pedagang tekstil di Solo pada usia 20-an. Bisnisnya berkembang pesat berkat posisi Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial. Pada tahun 1966, di usia 26 tahun, Lukminto berani menyewa kios di Pasar Klewer dan memberinya nama UD Sri Redjeki. Bisnis ini kemudian berkembang menjadi pabrik cetak kain pertama yang memproduksi kain putih dan berwarna untuk pasar lokal.
Bisnis Lukminto semakin maju hingga akhirnya pada tahun 1980, pabrik tersebut berubah menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesuksesan Sritex adalah kedekatan Lukminto dengan pemerintah, terutama dengan Presiden Soeharto dan tokoh-tokoh penting Orde Baru. Harmoko, sahabat kecil Lukminto, yang merupakan Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar selama Orde Baru, juga berperan penting dalam perkembangan Sritex. Di era 1990-an, Sritex mendapat banyak tender proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah, seperti seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI. Hal ini membuat Sritex mendominasi pasar garmen baik di dalam maupun luar negeri, mendapatkan keuntungan besar dalam bentuk rupiah dan dollar.