Berita
Kritik Terhadap Peran Dewan Pertahanan Nasional dalam Urusan Sipil
2025-02-07

Pernyataan Ketua Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sekaligus Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, yang menyarankan DPN mengambil peran dalam penertiban kawasan hutan dan urusan sipil lainnya, mendapat sorotan tajam dari Koalisi Masyarakat Sipil. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa hal tersebut tidak hanya keliru tetapi juga merusak sistem penegakan hukum nasional dan supremasi sipil di Indonesia. Pernyataan ini mengindikasikan kemungkinan kembalinya praktik militerisme dan otoritarianisme, yang telah membawa berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu.

Miskonsepsi Peran DPN dalam Penertiban Kawasan Hutan

Usman Hamid menekankan bahwa pernyataan DPN akan terlibat dalam penertiban kawasan hutan dan masalah non-pertahanan lainnya bertentangan dengan amanat Pasal 15 UU Pertahanan. UU tersebut secara eksplisit menetapkan bahwa tugas DPN adalah mengurus kebijakan pertahanan negara, bukan terlibat dalam urusan sipil non-pertahanan. Upaya menarik DPN ke ranah non-pertahanan, termasuk pengelolaan ekonomi, merupakan penyimpangan yang bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik.

Menurut Usman, pembentukan DPN harus ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menghadapi ancaman eksternal seperti perang. Keterlibatan DPN dalam urusan non-pertahanan hanya akan menghidupkan dwifungsi TNI seperti masa Orde Baru, yang meninggalkan berbagai kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Misalnya, keterlibatan militer dalam proyek Rempang Eco-City dan proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, yang berdampak buruk pada masyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa peran militer di luar bidang pertahanan bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan menjadi indikasi kembalinya dwifungsi ABRI.

Kemunduran Reformasi dengan Keterlibatan Militer dalam Urusan Sipil

Peran DPN dalam urusan non-pertahanan menunjukkan gejala kembalinya dwifungsi militer dalam kehidupan bernegara. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat beberapa contoh keterlibatan militer dalam ranah sipil yang bermasalah, seperti pengamanan proyek Rempang Eco-City dan penyalahgunaan TNI dalam proyek lumbung pangan di Merauke. Ini menimbulkan konflik antara aparat dan masyarakat adat serta melanggar fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan.

Usman Hamid menegaskan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil harus dihindari karena hanya akan menghidupkan kembali militerisme dan otoritarianisme dalam politik. Pada titik ini, keterlibatan DPN yang terlalu jauh mengurusi urusan sipil, seperti yang disebutkan oleh Menhan, harus dikoreksi dan pelaksanaannya harus dihentikan. Langkah ini penting untuk menyelamatkan hasil Reformasi 1998 dan memastikan bahwa sistem demokrasi Indonesia tetap berjalan dengan baik. Koalisi Masyarakat Sipil menyerukan agar pemerintah memperhatikan pentingnya pemisahan tugas antara militer dan urusan sipil demi menjaga integritas dan efektivitas kedua institusi tersebut.

More Stories
see more