Indonesia berkomitmen untuk mengelola utang negara dengan hati-hati, memastikan defisit anggaran tetap terkendali. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pembiayaan dilakukan secara bertanggung jawab, memperhatikan dinamika pasar keuangan dan risiko utang. Defisit APBN 2025 sebesar Rp 616,19 triliun membutuhkan pembiayaan utang senilai Rp 775,87 triliun, dengan sumber dana dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. Pinjaman ini mencakup dalam negeri dan luar negeri, serta melibatkan berbagai sektor pemerintahan dan BUMN.
Pemerintah Indonesia berusaha keras untuk menjaga stabilitas keuangan negara melalui pengelolaan utang yang cermat. Dalam rangkaian konferensi pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya mempertahankan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tingkat yang aman. Dia menjelaskan bahwa proses ini harus memperhitungkan likuiditas pemerintah, perkembangan pasar keuangan, dan keseimbangan antara biaya utang dengan risiko yang dihadapi.
Pada tahun 2025, rancangan defisit APBN ditetapkan sebesar Rp 616,19 triliun. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pemerintah merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp 775,87 triliun, dengan pembiayaan non-utang sebesar Rp 159,7 triliun sebagai faktor pengurang. Total penerbitan SBN direncanakan sebesar Rp 642,5 triliun, sedikit lebih rendah dibandingkan target 2024. Sebaliknya, pinjaman neto naik menjadi Rp 133,3 triliun, meningkat dari target tahun sebelumnya. Ini mencakup pinjaman dalam negeri bruto dan pinjaman luar negeri neto, yang digunakan untuk berbagai kegiatan pemerintah dan pembayaran cicilan pokok.
Pinjaman utang dikelola dengan sangat hati-hati, memastikan alokasi yang tepat dan efektif. Pinjaman dalam negeri bruto sebesar Rp 11,77 triliun digunakan untuk pembayaran cicilan pokok dan mendukung APBN 2025. Sedangkan pinjaman luar negeri neto mencapai Rp 128,13 triliun, terdiri dari pinjaman tunai, pinjaman kegiatan, hibah, dan pinjaman kepada BUMN atau pemerintah daerah. Total ini dikurangi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 88,36 triliun.
Pinjaman luar negeri neto sebesar Rp 128,13 triliun mencakup beberapa komponen penting. Rp 80 triliun dialokasikan untuk pinjaman tunai, sementara Rp 125,52 triliun digunakan untuk mendukung kegiatan Kementerian/Lembaga pusat. Selain itu, ada alokasi sebesar Rp 1,59 triliun untuk kegiatan yang kemudian diteruskan dalam bentuk hibah. Pinjaman ke BUMN atau pemerintah daerah juga mendapatkan alokasi sebesar Rp 9,3 triliun. Semua ini telah dikurangi oleh pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 88,36 triliun, sehingga memastikan penggunaan dana yang efisien dan bertujuan.