Utang masyarakat Indonesia melalui layanan pay later telah mencapai angka triliunan rupiah. Data terbaru menunjukkan bahwa total utang ini meningkat menjadi Rp 30,36 triliun pada November 2024, naik dari bulan sebelumnya. Fasilitas pay later banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan gaya hidup, seperti pembelian produk melalui QRIS, e-commerce, tiket perjalanan, dan belanja langsung di toko. Para ahli menyatakan bahwa pay later menjadi pilihan alternatif bagi generasi muda yang menghadapi tantangan finansial, namun juga membawa risiko gagal bayar dan dampak negatif lainnya.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan peningkatan signifikan dalam total utang pay later di Indonesia. Pada bulan November 2024, jumlah outstanding utang mencapai Rp 30,36 triliun, meningkat dari Rp 29,66 triliun pada bulan sebelumnya. Ini mencerminkan pertumbuhan yang pesat dalam penggunaan layanan ini oleh masyarakat. Pembelian produk sekunder seperti transaksi menggunakan QRIS dan lainnya mendominasi dengan 41,9%, diikuti oleh pembelian di e-commerce sebesar 33%.
Fenomena ini tidak lepas dari kemudahan akses digital yang ditawarkan oleh layanan pay later. Direktur Utama IdScore Tan Glant Saputrahadi menjelaskan bahwa fasilitas ini sering digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder atau gaya hidup. Dengan kondisi ekonomi yang sulit, banyak masyarakat yang memilih pay later sebagai solusi pembiayaan cepat. Transaksi seperti pembelian tiket bepergian (21,1%) dan belanja langsung di toko (4%) juga menjadi bagian dari pola konsumsi ini. Penggunaan pay later yang semakin tinggi mencerminkan pergeseran perilaku konsumen dalam mengelola keuangan mereka.
Layanan pay later telah menjadi solusi alternatif bagi generasi muda Indonesia yang berjuang dengan beban finansial. Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengamati bahwa pay later memberikan kemudahan bagi masyarakat yang membutuhkan pembiayaan tanpa harus mengandalkan keluarga atau bank. Generasi muda, khususnya yang termasuk dalam kelompok sandwich generation, sering kali memilih teknologi seperti BNPL karena opsi lainnya tidak tersedia.
Namun, pertumbuhan utang pay later juga membawa risiko gagal bayar yang meningkat. Huda menekankan bahwa pola konsumsi seperti ini dapat mempengaruhi alokasi pengeluaran masyarakat, sehingga lebih banyak dana dialihkan untuk membayar bunga dari BNPL. Data terakhir menunjukkan bahwa kredit macet atau non performing loan di BNPL pada November 2025 mencapai 3,21%, meskipun sudah turun dari titik tertingginya 6,66% di bulan September 2023. Meski demikian, potensi gagal bayar tetap menjadi perhatian penting bagi regulator dan masyarakat. Situasi ini juga berdampak pada daya beli masyarakat, yang telah mengalami penurunan sejak pertengahan tahun 2024, dengan indikator seperti deflasi beruntun, anjloknya penjualan mobil, dan penurunan tabungan.