Pemerintah Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, telah mengambil tindakan keras terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Melalui perintah eksekutif yang dikeluarkan pada Kamis malam, Trump memberlakukan sanksi dan pembatasan keuangan serta visa terhadap staf ICC dan individu yang mendukung penyelidikan terhadap AS dan sekutunya. Tindakan ini dipicu oleh tuduhan bahwa ICC menyerang kedaulatan AS dan Israel, serta mengancam keamanan nasional. Namun, langkah ini juga menuai kritik dari berbagai pihak yang menyebutnya sebagai serangan terhadap supremasi hukum internasional.
Tindakan Trump melawan ICC didasarkan pada penilaian bahwa pengadilan tersebut telah menyalahgunakan wewenangnya. Surat perintah penangkapan yang dikeluarkan untuk pemimpin Israel disebut tidak berdasar, dan digambarkan sebagai ancaman terhadap kedaulatan AS. Perintah eksekutif ini mencakup larangan bepergian dan pembekuan aset bagi pejabat ICC yang ingin mengadili warga negara AS atau sekutunya. Gedung Putih memandang Israel sebagai negara demokrasi yang patuh terhadap hukum perang, sehingga merasa perlu melindungi sekutunya dari apa yang dianggap sebagai tindakan ilegal.
Sanksi ini diberlakukan dalam konteks hubungan erat antara AS dan Israel. Pada bulan Januari, DPR AS bahkan meloloskan undang-undang yang akan memberikan sanksi kepada ICC, meskipun Senat kemudian memblokir inisiatif tersebut. Dalam pidato sebelum pemungutan suara, para anggota Kongres menekankan perlunya melindungi kedaulatan dan integritas hukum AS dari apa yang mereka lihat sebagai intervensi ilegal oleh pengadilan internasional. Namun, tindakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang komitmen AS terhadap hukum internasional dan sistem peradilan global.
Kebijakan baru ini memiliki implikasi signifikan baik secara domestik maupun internasional. Di tingkat nasional, dukungan bipartisan untuk melindungi Israel mencerminkan posisi politik AS yang solid terhadap sekutunya. Namun, di arena internasional, langkah ini dapat mempengaruhi reputasi AS sebagai pendukung hukum internasional dan prinsip-prinsip adil. Analis khawatir bahwa tindakan semacam itu mungkin membahayakan upaya-upaya multinasional dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang.
Di satu sisi, pemerintah AS berpendapat bahwa tindakan ICC mengancam kedaulatan dan kebijakan luar negerinya. Namun, di sisi lain, banyak pihak yang melihat ini sebagai upaya untuk melemahkan otoritas hukum internasional. Meskipun AS dan Israel bukan penandatangan Statuta Roma yang membentuk ICC, tindakan ini tetap menunjukkan sikap tegas AS terhadap institusi peradilan internasional. Hal ini menegaskan bahwa AS tidak akan ragu-ragu menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kepentingan nasional dan sekutu dekatnya.