Bank Indonesia (BI) mengejutkan pasar keuangan dengan penurunan suku bunga acuan hingga 5,75%. Keputusan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif pada likuiditas perbankan dan mendorong ekspansi kredit. Meskipun bankir menyambut baik kebijakan ini, mereka juga mengingatkan bahwa kondisi likuiditas masih ketat dan diperlukan langkah-langkah tambahan untuk meningkatkan jumlah uang beredar. Para ahli ekonomi menilai bahwa penurunan ini merupakan sinyal yang baik bagi prospek ekonomi nasional.
Penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia dipandang sebagai langkah strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Keputusan ini diharapkan dapat memperbaiki aliran likuiditas dalam sistem perbankan, sehingga membantu bank-bank dalam menurunkan biaya pendanaan dan memperluas kredit kepada masyarakat. Namun, efek langsung dari penurunan ini terhadap biaya pendanaan belum tentu segera terasa, karena beberapa faktor lain seperti suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masih relatif tinggi.
Para eksekutif perbankan seperti Lani Darmawan dari Bank CIMB Niaga dan Royke Tumilaar dari Bank Negara Indonesia (BNI) menyambut baik keputusan ini. Mereka melihat bahwa penurunan suku bunga acuan bisa menjadi sinyal positif bagi ekonomi, meskipun dampaknya tidak akan instan. Menurut Lani, kondisi likuiditas perbankan masih ketat karena SRBI yang tinggi. Sedangkan Royke berharap penurunan suku bunga SRBI juga akan dilakukan agar lebih banyak uang beredar di pasar. Penurunan ini diharapkan dapat mendorong ekspansi kredit, walaupun efeknya mungkin tidak besar.
Meskipun penurunan suku bunga acuan disambut baik, tantangan likuiditas tetap ada. Perbankan harus berhati-hati dalam mengelola dana, terutama mengingat persaingan antara pemerintah dan bank dalam mendapatkan dana. Trioksa Siahaan dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menyoroti bahwa persaingan ini sulit dihindari, terutama dengan adanya utang pemerintah yang jatuh tempo. Bank perlu menahan suku bunga simpanan untuk mencegah nasabah memindahkan dana ke instrumen investasi lain.
Chief Economist PT Bank Central Asia, David E. Sumual, menjelaskan bahwa likuiditas industri perbankan masih cukup, namun ketersediaannya terbatas jika dilihat dari segi harga. Harga suku bunga antar bank cenderung naik, yang membuat instrumen investasi lain kurang menarik. Suku bunga SRBI yang tinggi mencapai 7,23% telah membuat deposito bank kurang kompetitif. Ini menjadi kekhawatiran jika berlanjut dalam jangka panjang, karena akan berdampak pada penyaluran kredit dan ketahanan industri perbankan. Data BI menunjukkan bahwa kredit perbankan tumbuh 10,93% secara tahunan, sedangkan dana pihak ketiga naik 6,3% yoy. Rasio alat likuid terhadap non-core deposit mencapai 112,94%, dan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga sebesar 25,57%. Penurunan suku bunga acuan ini diharapkan dapat meredam tantangan likuiditas dan memperkuat prospek ekonomi.