Pada tanggal 29 Januari 2025, Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan peraturan baru yang mengejutkan. Peraturan ini bertujuan untuk memantau dan mendeportasi mahasiswa internasional yang berpartisipasi dalam aktivitas pro-Palestina di kampus universitas. Ini merupakan bagian dari upaya pemerintahan AS untuk menekan gerakan pro-Palestina yang telah berkembang pesat sejak konflik Israel-Gaza. Keputusan ini mendapat respons yang bervariasi dari berbagai pihak, termasuk para pengacara imigrasi dan aktivis hak asasi manusia.
Perintah eksekutif ini dikeluarkan hanya seminggu setelah penerapan larangan perjalanan baru yang bertujuan mengusir individu dengan “ideologi kebencian”. Kedua perintah tersebut menunjukkan fokus pemerintahan AS pada penumpasan aktivisme pro-Palestina di lingkungan akademik. Gerakan ini tumbuh sebagai reaksi terhadap serangan militer Israel di Gaza, yang menyebabkan korban jiwa Palestina mencapai hampir 50.000 jiwa sejak Oktober 2023.
Berita ini mencerminkan perubahan signifikan dalam kebijakan imigrasi AS. Perintah baru ini mengharuskan institusi federal memberikan panduan kepada universitas tentang cara memfilter warga negara asing yang tidak memenuhi syarat untuk memasuki negara tersebut. Universitas diminta untuk melaporkan aktivitas mahasiswa internasional kepada otoritas, sehingga mereka dapat diproses untuk deportasi jika ditemukan melanggar aturan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa universitas akan berubah menjadi alat pengawasan bagi Departemen Keamanan Dalam Negeri.
Eric Lee, seorang pengacara imigrasi yang mewakili beberapa mahasiswa yang menghadapi ancaman deportasi, mengungkapkan kekhawatiran bahwa kedua perintah ini secara efektif melarang non-warga negara untuk mengkritik pemerintah AS atau Israel. Menurutnya, perintah terbaru bahkan lebih radikal, karena mendorong universitas untuk memantau dan melaporkan apa yang dikatakan atau ditulis oleh mahasiswa dan staf.
Dengan pernyataan yang dirilis Gedung Putih, Presiden Trump menegaskan bahwa pemerintah akan menemukan dan mendeportasi semua penduduk asing yang terlibat dalam protes pro-jihadis. Hal ini menandakan langkah tegas pemerintah AS dalam mengatasi isu yang dianggap mengancam keamanan nasional. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas kebebasan berekspresi dan hak-hak sipil di institusi pendidikan tinggi.