Di penghujung tahun 2024, ekonomi Indonesia menghadapi dinamika yang menarik. Meskipun rupiah mengalami penguatan pada akhir perdagangan, fluktuasinya tetap menjadi perhatian utama. Selain itu, data inflasi bulanan dan tahunan serta kebijakan pajak terbaru juga berdampak signifikan pada pasar domestik. Pelaku ekonomi bersiap-siap menyambut data ekonomi awal tahun yang dapat memberikan panduan tentang arah kebijakan moneter mendatang.
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih rentan melemah menjelang tahun baru. Pada akhir perdagangan Desember 2024, rupiah berhasil menguat hingga 0,25% mencapai level Rp16.090/US$, namun fluktuasinya sepanjang hari menunjukkan ketidakstabilan. Analisis teknikal menunjukkan bahwa resistance terdekat ada di Rp16.280/US$ dan support di Rp16.050/US$. Pelaku pasar domestik berhati-hati dalam menyikapi data ekonomi awal tahun yang akan dirilis, termasuk laju inflasi dan PMI manufaktur, yang bisa mempengaruhi kebijakan moneter 2025.
Mengawali tahun baru, para pelaku pasar berfokus pada data ekonomi awal yang dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang arah kebijakan moneter. Salah satu indikator utama adalah laju inflasi atau Indeks Harga Konsumen (IHK) dan PMI manufaktur. Data ini erat kaitannya dengan daya beli masyarakat dan potensi pertumbuhan ekonomi. IHK diproyeksi naik 0,47% secara bulanan dan 1,61% secara tahunan, yang jika tercapai, akan menjadi inflasi tertinggi sejak Maret 2024. Sementara itu, PMI manufaktur juga akan memberikan sinyal penting tentang aktivitas industri. Pergerakan rupiah sendiri masih rentan terhadap pelemahan, dengan resistance terdekat di Rp16.280/US$ dan support di Rp16.050/US$. Ini menunjukkan bahwa pelaku pasar harus tetap waspada terhadap volatilitas yang mungkin terjadi.
Pemerintah telah mengumumkan kebijakan pajak terbaru, termasuk penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% hanya untuk barang mewah, sementara barang sehari-hari tidak terkena dampak. Kategori barang mewah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 15 tahun 2023. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban konsumen dan menjaga stabilitas ekonomi. Selain itu, fasilitas PPN diperluas untuk beberapa jenis barang kebutuhan pokok dan penting.
Kebijakan pajak baru ini memiliki dampak langsung pada ekonomi domestik. PPN 12% hanya diterapkan pada barang mewah, sedangkan barang sehari-hari tetap dikenakan PPN 11%. Hal ini bertujuan untuk melindungi daya beli masyarakat umum dan menjaga stabilitas ekonomi. Peraturan ini didasarkan pada PMK nomor 15 tahun 2023 dan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020. Selain itu, beberapa jenis barang kebutuhan pokok dan penting mendapatkan fasilitas PPN tambahan untuk mengurangi beban konsumen. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Fasilitas PPN ini juga bertujuan untuk memperkuat daya saing produk lokal dan mendorong investasi di sektor-sektor strategis.