Pasar
Perbankan Indonesia Menghadapi Tantangan Likuiditas dan Persaingan Ketat
2024-12-24

Tantangan likuiditas yang mengancam industri perbankan Indonesia diperkirakan akan berlanjut hingga tahun depan. Bank-bank tidak hanya bersaing dengan satu sama lain untuk mendapatkan dana masyarakat, tetapi juga dengan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan finansial besar. Situasi ini dipicu oleh jatuh tempo pembayaran surat utang negara sekitar Rp700 triliun setiap tahun selama tiga tahun ke depan, serta pengeluaran rata-rata tahunan utang pemerintah sebesar Rp600 triliun. Akibatnya, pemerintah membutuhkan likuiditas sekitar Rp1.300 triliun per tahun. Selain itu, persaingan menjadi lebih ketat karena pemerintah menawarkan instrumen investasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi, seperti obligasi ritel dengan suku bunga di atas 6%. Fenomena "perang" insentif antar bank diperkirakan akan terus berlangsung di tahun mendatang.

Persaingan Dana Masyarakat Semakin Ketat

Berbagai bank berusaha keras untuk mendapatkan dana masyarakat melalui penawaran insentif yang menarik. Dalam kondisi ekonomi yang dinamis, bank-bank harus bersaing dengan pemerintah yang menawarkan instrumen investasi dengan imbal hasil kompetitif. Hal ini membuat persaingan semakin ketat, dengan bank-bank berlomba-lomba memberikan insentif, cashback, dan hadiah untuk menarik nasabah. Strategi ini diterapkan sebagai respons terhadap kebutuhan likuiditas yang meningkat, baik dari sisi bank maupun pemerintah. Meskipun metode ini efektif dalam menarik dana masyarakat, bank-bank perlu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dana dan risiko likuiditas.

Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo menyebut bahwa fenomena ini dipicu oleh kebutuhan likuiditas pemerintah yang sangat besar. Pada tahun depan, pemerintah membutuhkan sekitar Rp1.300 triliun untuk membayar jatuh tempo surat utang negara dan mengeluarkan utang baru. Ini menciptakan situasi di mana bank-bank harus berkompetisi dengan pemerintah untuk mendapatkan dana masyarakat. Presiden Direktur Krom Bank Anton Hermawan menambahkan bahwa persaingan ini telah memicu perang insentif yang marak di tahun ini dan diperkirakan akan berlanjut di tahun mendatang. Bank-bank berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan dana pihak ketiga (DPK) dengan menawarkan berbagai promosi dan insentif yang menarik.

Kendala Ekspansi Kredit dan Manajemen Likuiditas

Situasi likuiditas yang ketat juga mempengaruhi kemampuan bank untuk melakukan ekspansi kredit. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) yang mencapai 87,50% pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa ruang untuk ekspansi kredit semakin terbatas. Bank-bank yang memiliki pendekatan konservatif cenderung lebih hati-hati dalam melakukan ekspansi kredit, sehingga mereka lebih memilih untuk menjaga likuiditas daripada memaksakan pertumbuhan kredit yang tidak prudent. Contohnya adalah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), yang memilih untuk membayar denda daripada melakukan ekspansi kredit yang tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menegaskan bahwa bank berkomitmen untuk menjaga pertumbuhan kredit berkualitas secara berkelanjutan, ditopang oleh likuiditas yang solid. Pertumbuhan kredit BCA mencapai 11,1% secara tahunan pada September 2024, melebihi rata-rata industri perbankan. Namun, LDR BCA hanya bertambah 7,69%, menunjukkan bahwa bank lebih memilih kehati-hatian dalam manajemen likuiditas. Ekonom LPPI Ryan Kiryanto menambahkan bahwa pertumbuhan kredit yang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan DPK dapat mempersulit bank untuk mempertahankan keseimbangan likuiditas. Oleh karena itu, bank-bank perlu berhati-hati dan memperhitungkan kapasitas mereka dalam melakukan ekspansi kredit. CIMB Niaga, misalnya, telah merevisi target pertumbuhan kredit menjadi 6% karena biaya pendanaan yang tinggi dan daya beli kelas menengah yang menurun. Perbankan harus mampu membaca situasi ekonomi dan menentukan strategi pertumbuhan yang tepat untuk menghindari risiko kredit bermasalah.

More Stories
see more