Pasar karbon domestik di Indonesia mengalami tantangan signifikan dalam hal likuiditas. Menurut Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, aktivitas perdagangan masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pasar ini belum sepenuhnya mampu menarik minat para pelaku usaha, baik lokal maupun internasional. Hashim menekankan pentingnya meningkatkan akses pasar bagi pelaku usaha karbon internasional untuk merangsang pertumbuhan dan kinerja pasar.
Kondisi pasar yang sepi terlihat dari data transaksi sejak diluncurkannya bursa karbon pada September 2023 hingga Desember 2024. Volume transaksi mencapai 908.018 ton CO2 ekuivalen dengan nilai total Rp 50,64 miliar. Harga rata-rata diperoleh sebesar Rp 55.769 per ton CO2 ekuivalen atau setara dengan hampir US$ 4. Meskipun pasar telah dibuka untuk pelaku internasional sejak awal Januari 2025, respons pasar tetap kurang memuaskan. Hanya sekitar 40.000 ton CO2 dari total kredit 1,7 juta ton yang berhasil terserap, atau kurang dari 3% dari suplai yang tersedia.
Untuk memajukan perdagangan karbon dan mendukung upaya mitigasi iklim, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis. Meningkatkan partisipasi pelaku usaha internasional dapat menjadi salah satu solusi efektif. Dengan demikian, pasar karbon Indonesia tidak hanya akan lebih dinamis, tetapi juga berkontribusi positif pada tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca secara global. Ini menegaskan komitmen negara dalam menjaga lingkungan dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.